Oleh : Zamal Nasution, PhD.
Apakah hak-hak perempuan sudah setara dengan laki-laki? Aspek manakah yang lebih urgen, persamaan atau keadilan gender? Disclaimer. mengikuti literatur utama, tulisan ini membagi seks berdasar binary (perempuan dan laki-laki).
Utopia Persamaan Gender
Hari perempuan dunia (International Women’s Day) yang akan datang pada 8 Maret 2022 mengambil tema “Gender equality today for a sustainable tomorrow”. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memilih kata “equality” yang bermakna persamaan daripada “equity” yang artinya keadilan. Harapannya, perempuan dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Pertanyaannya, apakah basis persamaan itu sudah terpenuhi sehingga tak ada lagi diskriminasi?
Sejauh ini, konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW tahun 1979) telah diratifikasi oleh 189 pemerintahan di dunia. Implikasinya, persamaan hak asasi dan kebebasan dalam berpolitik, ekonomi, sosial, budaya dijamin oleh undang-undang; sehingga seharusnya perempuan mendapat akses yang sama dengan laki-laki. Apakah regulasi sudah menjamin realisasi persamaan itu?
Di dunia nyata, ruang kompetisi (playing field) antara perempuan dan laki-laki tidak sama. Secara umum, dunia sekarang dikuasai oleh laki-laki. Dari 130 klasifikasi pekerjaan menurut ISCO-08 (International Standard Classification of Occupations), proporsi laki-laki selalu lebih banyak dari perempuan (gender gap). Data dunia tahun 2020 menunjukkan persentase perempuan di dunia kerja mencapai 46%. Pengecualian terjadi pada 17 profesi seperti perawat, staf medis, administratif, rumah tangga, dan pendidikan; di mana perempuan mendominasi dengan persentase 88%- 51% (ILO.org, 2020).
Menurut tingkat pendidikan, 41% perempuan mengenyam pendidikan tinggi berbanding laki-laki 36%. (World Bank, 2022). Namun, profesi yang bersinggungan dengan sains, teknologi informasi, teknik, dan matematika (STEM) didominasi laki- laki dengan prosentase 72% (ILO.org, 2020). Fakta tersebut menunjukkan bahwa meskipun persamaan gender sudah diratifikasi, namun industri ternyata lebih memilih laki-laki. Begitu juga dalam sistem penggajian, perempuan cenderung mendapat lebih rendah 16% dari laki-laki (gender pay gap) di profesi yang sama (UN Women, 2021).
Nature dan Nurture Perempuan
Perempuan dan laki-laki tidak sama, itu disadari sejak jaman pra-sejarah. Nenek moyang manusia menyadari hanya karakter keibuan (motherhood) kepada anaknya yang tak bersyarat (unconditional love) (Alan F., 1994). Ini dibuktikan dengan pembagian tugas berdasarkan gender. Perempuan berevolusi menjadi pengasuh anak dan mengerjakan urusan domestik, sementara kaum laki-laki berburu dan mengumpulkan makanan (Leonardo C. M., 2014). Kebiasaan tersebut identik/terkait dengan perbedaan seks (nature) yang mempengaruhi psikolog (nurture), sehingga perempuan menjadi lebih perasa dan berempati (David C.G., 1998).
Warisan intergenerasi dan lintas budaya tersebut menunjukkan adanya hubungan aspek biologis, tumbuh kembang, dan budaya dominan (Richard L., 2005; Diane F. H., 2012). Faktor biologis diterangkan dengan genetik dan epigenetik, di mana genetik diturunkan dari orang tua ke anak, sedangkan epigenetik disebabkan pengaruh lingkungan dan perilaku terhadap ekspresi genetik. Epigenetik dapat diterangkan sebagai proses perempuan yang bisa kehilangan sifat keibuannya karena faktor tumbuh kembang dan budaya dominan, sebaliknya laki-laki juga bisa mendapatkan sifat keibuan meskipun tidak akan pernah sama dengan genetik perempuan.
Genetik perempuan terlihat dari struktur/fungsi otak dan hormon yang berbeda dengan laki-laki, di mana volume otak laki-laki lebih besar 10% dari perempuan (Helmuth N., 1994; David C. G., 1998). Meskipun tidak selalu merepresentasi tingkat intelejensi, namun fisiologi dan fungsi otak perempuan mendukung beberapa perbedaan dari laki-laki terutama dalam faktor kesehatan mental, emosi, perilaku, dan kemampuan kognitif (David M.B., 2011).
Perempuan lebih mampu mengingat objek lokasi dan membaca emosi/gerak tubuh, sekaligus bekerja simultan (multitasking) pada tugas yang terkait huruf, angka dan simbol (Rena Li, 2014). Internalisasi konflik dan stres pada perempuan membuatnya sering labil (moody) yang termanifestasi dalam urusan makanan hingga tingkat kecemasan yang dapat berujung pada depresi (Petersen J.L., 2010). Gangguan psikis meningkat saat produksi hormon estrogen turun terutama siklus menstruasi dan setelah persalinan (Kristina MD., 2016). Karakter spesifik ini membedakan perempuan dari laki-laki yang cenderung lebih agresif, utilitarian (untung rugi), dan anti-sosial (Mayada Elsabbagh, 2012). Perempuan dan laki-laki memiliki kelebihan masing-masing, sehingga seharusnya tidak ada stereotip yang menghambat kerjasama.
Persamaan atau Keadilan Gender?
Kesadaran perempuan untuk persamaan gender dimulai sejak abad ke-18 oleh Abigail Adams yang menulis surat ke suaminya John Adams (mantan presiden Amerika Serikat):
“Ingatlah jasa para perempuan, berbuat baik dan hargai mereka, jangan hanya mendengar suara para laki-laki. Para suami, jika mereka bisa, akan menjadi tirani dengan kekuasaan tidak terbatas. Jikalau suara perempuan tidak lagi didengar, kami akan memberontak dari semua aturan yang kalian buat” (History.com, 2022).
Kesetaraan yang diperjuangkan sejak 246 tahun lalu baru mampu mengurangi diskriminasi terhadap perempuan. Di era digital 4.0 ini perempuan masih menghadapi gender gap dan gender gap payment. Pada bidang pekerjaan yang berhubungan dengan sains dan teknologi (STEM), jumlah laki-laki masih sangat mendominasi. Selain itu, perempuan juga mendapatkan gaji yang lebih rendah dari laki-laki. Akhirnya, perempuan memilih profesi yang dihindari oleh laki-laki sehingga segregasi eksis karena pilihan yang terbatas. Kesetaraan menjadi utopia selama praktik diskriminasi gender terjadi tanpa adanya paradigma intervensi.
Demi kemanusiaan, perempuan perlu hak istimewa (gender privilege) agar dapat bersaing di dunia yang telanjur didominasi laki-laki,. Setiap sektor diregulasi untuk memberi porsi progresif bagi keterwakilan kaum perempuan (affirmative action) hingga mencapai keseimbangan jumlah. Strategi ini lebih berkeadilan daripada persaingan bebas antara perempuan dan laki-laki karena segregasi gender menghambat kesetaraan. Sistem penggajian juga harus disetarakan dengan memberikan upah pekerja sesuai kompetensinya bukan gendernya. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah bagi perempuan dan laki-laki didapatkan setelah keadilan gender ditegakkan.(*)
Penulis adalah Dosen SPs Unair dan Pengurus Majelis Wilayah KAHMI Jatim