Kanal24, Malang – Hingga saat ini, gagasan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengenai Kurikulum Merdeka yang dirancang khusus sebagai upaya pemulihan krisis dan kesenjangan pada sektor pendidikan akibat pandemi COVID-19 telah resmi diimplementasikan secara gradual di berbagai sekolah yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Kendati demikian, kemunculan beragam miskonsepsi terkait hal-hal yang berhubungan dengan pengimplementasian Kurikulum Merdeka ini kemudian mendorong adanya urgensi untuk segera meluruskan agar kesalahpahaman yang terjadi dapat segera teratasi. Lima di antaranya, seperti yang dipaparkan dalam laman resmi milik Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kemdikbud, yakni:
1. Ganti Kurikulum Adalah Tujuan
Premis ini dinilai kurang tepat sebab yang sebenarnya ingin ditekankan bukanlah perihal urusan administratif yang meliputi pergantian istilah atau format dokumen, melainkan tentang bagaimana Kurikulum Merdeka dipandang sekaligus ditetapkan sebagai alat untuk mencapai tujuan pemulihan pembelajaran.
2. Terdapat Penerapan Kurikulum Merdeka yang Benar atau Salah Secara Absolut
Persepsi ini tidak bisa dibenarkan karena penerapan Kurikulum Merdeka di suatu satuan pendidikan akan total berbeda dengan satuan pendidikan lainnya akibat adanya diversitas karakter. Alih-alih absolut, penerapan kurikulum tersebut lebih tepat dilaksanakan secara kontekstual.
Selain itu, mengingat kriteria utama Kurikulum Merdeka adalah bagaimana implementasinya dapat menstimulasi tumbuh kembang karakter serta kompetensi para peserta didik, dalam hal ini guru turut menjadi salah satu elemen yang dapat membantu untuk mengukur keberhasilan dari penerapan Kurikulum Merdeka.
3. Harus Menunggu Pelatihan dari Pusat
Kemendikbudristek mempercayakan satuan pendidikan dan guru untuk mengambil inisiatif dalam mengembangkan kapasitasnya secara mandiri. Seperti disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Sesditjen GTK), Nunuk Suryani, ketika berkunjung ke SMP Damian School, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat untuk memantau perkembangan implementasi Kurikulum Merdeka sekaligus memberi apresiasi pada tanggal 5 Agustus 2022 lalu, bahwasanya inisiatif memang sebaiknya datang dari guru dan kepala sekolah, kemudian melakukan asesmen secara jujur dan mandiri sebelum pada akhirnya sistem menentukan kelayakan sekolah dalam penerapan Kurikulum Merdeka.
Senada dengan itu, Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, selaku narasumber dalam Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Meluruskan Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka” pada 21 Juli 2022 lalu juga telah mengungkapkan hal serupa.
“Kita percaya bahwa yang efektif itu bukan sekolah menunggu petunjuk teknis, resep, langkah-langkah yang seragam dari pusat, tetapi melakukan inisiatif sendiri untuk mengejar, menerapkan, dan merefleksi di kelas atau sekolahnya sebagai sebuah siklus yang terus-menerus,” ujarnya pada forum yang diselenggarakan secara daring tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa salah satu bentuk dukungan dari Kemendikbudristek adalah disediakannya beragam panduan atau instrumen yang dapat secara bebas diakses oleh guru dan sekolah melalui (kurikulum.kemdikbud.go.id) dan platform Merdeka Mengajar. Harapannya, sekolah dan tenaga pengajar mampu mengembangkan kapasitasnya sesuai konteksnya masing-masing.
4. Proses Berjalan Instan
Untuk hal sekompleks transisi kurikulum yang berakibat pada berubahnya cara belajar dan mengajar, prosesnya tidak bisa dikatakan akan berjalan dengan instan maupun tuntas dalam sekali coba. Guru dan sekolah sudah sepatutnya mengusahakan adanya kontinuitas dalam berproses serta melakukan refleksi dan evaluasi untuk perbaikan mendatang.
5. Hanya Dapat Diimplementasikan di Sekolah yang Berfasilitas Lengkap
Anggapan ini juga dibantah langsung oleh Anindito Aditomo. Beliau menegaskan bahwa Kurikulum Merdeka bersifat fleksibel sehingga bisa diterjemahkan; bisa diturunkan, dioperasionalkan, menjadi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah-sekolah di mana pun, termasuk sekolah-sekolah di daerah-daerah pelosok yang masih minim fasilitas. Perihal pengimplementasiannya juga dapat disesuaikan sendiri berdasarkan tingkat kesiapan dan konteks masing-masing sekolah. (nai)