Kanal24 – Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah menentukan proporsi yang lebih tinggi untuk pembangkit energi terbarukan baru sebanyak 52%, dibandingkan dengan pembangkit energi fosil sebanyak 48%, seperti yang tercantum dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030 atau yang disebut dengan RUPTL Hijau.
“Dalam RUPTL kita sama-sama paham kalau 52 persen dari pembangkit kita itu basisnya adalah EBT,” ujar Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana, dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor Ketenagalistrikan Tahun 2022 dan Capaian Tahun 2023, di Jakarta, Selasa.
Menurut RUPTL tersebut, Dadan melanjutkan, hanya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang telah ditentukan dalam RUPTL sebelum Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik berlaku yang akan dibangun.
“Kita sudah memastikan bahwa tidak ada lagi PLTU baru, kecuali yang sudah ditetapkan dalam RUPTL sebelum berlakunya Perpres 112 Tahun 2022,” ujar Dadan.
Dadan juga menyatakan bahwa pengembangan PLTU baru hanya diizinkan jika terintegrasi dengan pembangunan industri yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam, seperti pabrik pengolahan, atau PLTU yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap pembuatan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.
“Adapun syarat selanjutnya adalah dalam 10 tahun, harus menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), kan kalau PLTU dari batubara, harus menurukan emisi sebesar minimal 35% dan 35% ini cukup berat, ini adalah angka di mana Pemerintah dan seluruh stakeholder berkomitmen untuk terus melakukan upaya penurunan emisi GRK, ini pun menjadi syarat utama untuk mendapatkan pengecualian pembangunan PLTU,” terang Dadan.
“Adapun syarat yang ketiga, lanjut Dadan, adalah beroperasi paling lama sampai tahun 2050. “Jadi kalau tahun 2030, ya 20 tahun kemudian harus istirahat atau pensiun,” imbuhnya.
Menurut RUPTL 2021-2030, diprediksikan bahwa total tambahan kapasitas pembangkit adalah 40.575 Gigawatt (GW), dengan proporsi pembangkit EBT sebesar 20.923 GW atau 51,6% dan proporsi pembangkit fosil sebesar 19.562 GW atau 48,4%.
Menurut jenis pembangkit, pembangkit dengan sumber EBT terbanyak adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air/Mikro/Mikrohidro (10.391 GW), dilanjutkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (4.680 GW), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (3.355 GW), PLT EBT Base (1.010 GW), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (0.597 GW), PLT Bio (0.590 GW), dan BESS (0.3 GW).
Untuk pembangkit dengan sumber energi fosil, PLTU memiliki porsi terbanyak dengan 13.819 GW, dilanjutkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap/Gas Uap/Mesin Gas dengan 5.828 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dengan 5 Megawatt (MW).
Menurut jenis pengembang, Independent Power Producer (IPP) memegang porsi terbanyak dalam pengembangan pembangkit hingga tahun 2030, yaitu 26.006 GW atau 64%, diikuti oleh PLN sebesar 14.269 GW atau 35%, dan kerja sama antar wilayah usaha hanya memiliki porsi 1% atau 300 MW.
Menurut Dadan, saat ini proses diskusi teknis untuk mengkaji ulang RUPTL 2021-2030 sudah dimulai. Ia mengatakan bahwa jika diperlukan perubahan pada RUPTL, maka akan dilakukan revisi namun tanpa menurunkan target pembangunan pembangkit.
“Sekarang sudah mulai pembahasan teknis untuk mereview RUPTL yang sedang berjalan ini, kalau dipandang perlu nanti akan dilakukan revisi. Tetapi saya sudah sampaikan bahwa dengan review ini, jika ada revisi tidak menurunkan target (pengembangan EBT),” tegasnya. (DKD)