Kanal24, Malang – Istilah greenflation mengemuka sejak Gibran Rakabuming Raka menanyakan strategi mengatasi inflasi hijau (greenflation) saat debat keempat Pilpres 2024 Minggu malam (21/1/2024).
Green inflation merujuk pada peningkatan harga barang dan jasa yang terkait dengan solusi hijau atau ramah lingkungan. Artinya, produk dan layanan yang mendukung keberlanjutan mengalami peningkatan harga lebih cepat dibandingkan dengan barang dan jasa konvensional.
Hélène Baudchon dalam sebuah riset ekonomi yang dimuat di Eco Flash menyebutkan bahwa fenomena “greenflation” merujuk pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diimplementasikan sebagai bagian dari transisi hijau.
Menyesuaikan metode produksi dengan teknologi rendah karbon, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit, akan membutuhkan investasi besar dan mahal yang akan meningkatkan biaya margin setiap unit yang diproduksi dalam jangka pendek, serta penggunaan bahan yang lebih langka dan oleh karena itu lebih mahal. Ini akan menciptakan tekanan naik pada harga.
Transisi ekologis juga akan memerlukan penggunaan “sinyal harga”: meningkatkan harga bahan bakar fosil melalui pajak (pajak karbon) dan pasar izin emisi (harga eksplisit), serta regulasi (harga implisit).
Dampak Inflasi Langsung:
- Harga Material : Permintaan yang tinggi dan ketersediaan terbatas dari beberapa mineral yang diperlukan untuk teknologi rendah karbon dapat menciptakan distorsi harga dan tekanan inflasi. Ketergantungan pada pasokan yang sangat terkonsentrasi dan teknik penambangan yang sulit dapat membuat pasokan sangat inelastis.
- Investasi Besar untuk Transisi: Pergeseran ke teknologi baru yang ramah lingkungan memerlukan investasi besar, terutama selama periode transisi. Meskipun ini dapat meningkatkan biaya produksi dan menciptakan tekanan inflasi dalam jangka pendek, diharapkan bahwa keuntungan produktivitas agregat dari inovasi hijau akan memiliki efek desinflasi dalam jangka menengah hingga panjang.
- Pengenaan Pajak Karbon: Peningkatan harga bahan bakar fosil melalui pajak karbon dapat memberikan dampak langsung pada inflasi. Di beberapa negara Eropa, seperti Prancis, Denmark, dan Jerman, pajak karbon telah diterapkan, dan kenaikan harga per ton CO2 dapat berkontribusi pada tekanan inflasi.
Potensi Dampak Desinflasi:
- Guncangan Permintaan Negatif: Rencana transisi yang tidak pasti dapat menciptakan kekhawatiran dan krisis kepercayaan, menghasilkan guncangan permintaan negatif yang dapat mengurangi konsumsi rumah tangga dan investasi swasta, yang pada gilirannya akan menekan inflasi.
- Efek Positif pada Penawaran: Jika investasi hijau, terutama yang berasal dari sektor swasta, menghasilkan keuntungan produktivitas yang cukup untuk mengimbangi efek inflasi, ini dapat menciptakan tekanan desinflasi dalam jangka menengah hingga panjang.
- Kebijakan Publik yang Mendorong Permintaan: Beberapa kebijakan publik, seperti Undang-Undang Pengurangan Inflasi di Amerika Serikat atau NextGenerationEU di Eropa, dapat merangsang permintaan global untuk material yang dibutuhkan untuk produksi terdekarbonisasi dan energi terbarukan, yang dapat menciptakan tekanan inflasi
Dalam jangka pendek, efek inflasi dari transisi energi cenderung mendominasi. Namun, dalam jangka menengah hingga panjang, efek desinflasi dari peningkatan produktivitas dan penyesuaian pasar terhadap inovasi hijau dapat menjadi lebih signifikan. Penting untuk mendukung implementasi pajak karbon secara bertahap dan dini serta menyertai kebijakan investasi publik untuk menghindari dampak inflasi yang signifikan. Meskipun terdapat ketidakpastian, pergeseran ke ekonomi hijau membawa potensi untuk menciptakan masyarakat yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.(din)