Oleh : Akhmad Muwafik Saleh*
Menarik apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada saat menjelaskan tentang salah satu keistimewaan bulan Ramadhan dalam sebuah hadisnya :
أُعْطِيَتْ أُمَّتِيْ فِي شَهْرِ رَمَضَاْنَ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ نَبِيٌّ قَبْلِيْ: أَمَّا الوَاْحِدَةُ فَإِنَّهُ إِذَا كَاْنَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَاْنَ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِمْ وَمَنْ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا، وَأَمَّا الثَّانِيَةُ: فَإِنَّ خُلُوْفُ أَفْوَاْهُهُمْ حِيْنَ يُمْسُوْنَ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ، وَأَمَّا الثَّاْلِثَةُ: فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَسْتَغْفِرُ لَهُمْ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، وَأَمَّا الرَّاْبِعَةُ: فَإِنَّ اللهَ تعالى يَأْمُرُ جَنَّتَهُ فَيَقُوْلُ لَهَا: اِسْتَعِدِّيْ وَتَزَيَّنِيْ لِعِبَاْدِيْ أَوْشَكَ أَنْ يَسْتَرِيْحُوْا مِنْ تَعَبِ الدُّنْيَا إِلَى دَاْرِي وَكَرَامَتِيْ، وَأَمَّا الْخَاْمِسَةُ: فَإِنَّهُ إِذَا كَاْنَ آخِرُ لَيْلَةٍ غَفَرَ اللهُ لَهُمْ جَمِيْعًا، فَقَاْلَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَهِيَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ؟ قَالَ: لاَ أَلَمْ تَرَ إِلَى الْعُمَّالِ يَعْمَلُوْنَ فَإِذَا فَرِغُوْا مِنْ أَعْمَالِهِمْ وُفُّوْا أُجُوْرَهُمْ.
“Telah diberikan kepada umatku di bulan Ramadhan lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku, yaitu; Di permulaan Ramadhan Allah akan melihat kepada umatku. Sesiapa Allah melihat kepadanya nescaya ia tidak akan diazab selama-lamanya. Bau mulut mereka (yang berpuasa) ketika petang hari lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi.Malaikat akan memohon ampun untuk mereka di sepanjang hari dan malam. Allah menyuruh syurga supaya bersiap-sedia dengan berkata kepadanya; “Bersiaplah kamu dan berhiaslah untuk hamba-hambaKu. Mereka hampir datang (memasukimu) untuk beristirehat dari kepayahan dunia menuju ke rumahKu dan kemuliaanKu”.Pada akhir malam bulan Ramadan, Allah mengampuni dosa semua mereka. Seorang lelaki dari sahabat bertanya; ‘Adakah malam itu lailatul Qadar?’. Jawab Rasulullah; ‘Tidak. Apakah engkau tidak melihat kepada pekerja-pekerja yang bekerja. Apabila mereka telah selesai dari pekerjaan mereka, akan disempurnakanlah upah-upah bagi mereka”. (Riwayat Imam Ahmad, al-Bazzar dan al-Baihaqi dari Jabir r.a.)
Satu hal yang menarik dari penjelasan Rasulullah itu bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dibandingkan minyak misik di hadapan Allah. Ada satu pesan yang ingin disampaikan bahwa fakta, secara fisik orang yang berpuasa memang memproduksi bau mulut. Secara medis Hal ini disebabkan karena pada saat puasa produksi air liur di mulut berkurang karena tidak ada asupan cairan selama puasa. Padahal, air liur adalah cairan pembersih alami yang mengandung enzim untuk mencerna serat dan glikoprotein untuk melindungi mukosa mulut. Air liur juga berfungsi sebagai sistem imun untuk menghadang bakteri dan virus yang masuk melalui mulut. Akibat kondisi ini, maka rongga mulut kering dan menjadi tempat yang baik untuk berkembangnya koloni bakteri dalam lidah, gigi dan mulut.
Seorang mukmin yang cerdas haruslah memahami bahwa karena mulut orang yang sedang berpuasa itu bau, maka tentu jangan sampai bau mulut itu ditebarkan, sehingga kurangi dari banyak berbicara. Sekalipun demikian Allah menjanjikan bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah sangatlah mulia sehingga disamakan dengan Wangi minyak misik. Hal ini sebenarnya memberikan satu pesan penting kepada kita bahwa berpuasa tentu jangan hanya dimaknai sebagai upaya menahan diri dari makan dan minum.
Lebih daripada itu, Allah sebenarnya ingin mengajak orang-orang yang beriman untuk lebih menjaga lisannya agar tidak mudah mengucapkan sesuatu (terlebih hal yang buruk) khususnya berpuasa di bulan Ramadhan. Allah Allah ingin melatih agar seorang Mukmin belajar untuk menahan bicara, tidak lagi berbicara kotor dan sia-sia. Qaula zur, adalah persaksian bohong, dengan tujuan yang bathil, bisa jadi karena merusak jiwa (karena pembunuhan), atau keuntungan harta, atau menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang haram.
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦۗ وَأُحِلَّتۡ لَكُمُ ٱلۡأَنۡعَٰمُ إِلَّا مَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡۖ فَٱجۡتَنِبُواْ ٱلرِّجۡسَ مِنَ ٱلۡأَوۡثَٰنِ وَٱجۡتَنِبُواْ قَوۡلَ ٱلزُّورِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (QS. Al-Hajj: 30)
Di zaman akhir ini, betapa banyak bertebaran berita bohong dan betapa mudahnya pula seseorang turut menyebarkannya tanpa dibarengi dengan kecerdasan untuk melakukan seleksi kebenaran berita (check and re-check), tabayyun. Hal ini karena setiap orang seakan ingin menjadi yang terdepan dalam penyampaian informasi. Padahal jika menahan diri sejenak, kemudian menelitinya terlebih dahulu atas kebenarannya maka tentu hal demikian jauh lebih baik dan menyelamatkan. Inilah pesan penting dari pembelajaran puasa ramadhan.
Puasa Ramadhan sejatinya ingin mengajarkan kepada kita agar menahan diri dari mengucapkan dan memviralkan perkataan-perkataan bohong (hoax) yang jauh api daripada panggang, yang dapat menyebabkan terjadinya bencana pada orang lain.
Bencana kemanusiaan sejatinya bermula dari bencana komunikasi ini, kalimat yang bermula dari mulut dan pada era terakhir ini tangan kita telah menggantikan peran mulut, yaitu melalui apa yang kita produksi atau share lewat berbagai macam media sosial. Puasa ramadhan sesungguhnya ingin menyelamatkan manusia dari kehancuran diri dan kehancuran sosial, dengan cara menahan dari banyak berbicara, puasa bicara. Puasa ramadhan menjadi mekanisme solusi ilahiyah untuk menyelamatkan manusia dari bencana kemanusiaan tersebut.
Kalaupun “terpaksa” harus berbicara maka berbicaralah yang dapat mendatangkan kebaikan, berbicaralah dengan Allah melalui membaca al quran, dan berbicaralah dengan sesama manusia yang dapat memberikan kemanfaatan dengan prinsip komunikasi : nguwongno uwong (memanusiakan manusia atau menghormati dan menghargai serta memuliakannya), nyenengno uwong (dapat membuat bahagia dan senang orang lain), nggatekno uwong (peduli dan perhatian pada orang lain), ora nggelakno uwong (tidak mengecewakan dan menyakiti orang dalam setiap tindakan dan pembicaraan kita).
Semoga puasa kita dapat mengantarkan pada derajat kemanusiaan terbaik (taqwa), dengan menjaga lisan dan tangan (sebagai wakil lisan di media sosial) dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Amiin yaa Rabbal alamiin.(ams)
*)Akhmad Muwafik Saleh, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Pengasuh Ponpes Mahasiswa Tanwir al Afkar Malang