Oleh : Kesya Stevany Santoso*
Ditengah arus globalisasi yang mengalir deras, Indonesia berdiri teguh, mengukir identitas nusantara melalui glokalisasi yang menjadi sebuah simfoni kearifan lokal yang berdansa dengan ritme dunia, menciptakan harmoni unik untuk memperkaya tapestri kebudayaan bangsa.
Glokalisasi merupakan konsep yang menggambarkan ide-ide global berinteraksi serta beradaptasi dengan kondisi lokal yang dapat menciptakan fenomena atau produk yang unik dan berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, glokalisasi didefinisikan sebagai proses pengadaptasian barang atau jasa yang dijual secara internasional terhadap budaya dan pasar lokal yang berbeda. Sehingga, melalui proses adaptasi, budaya luar dan lokal dapat saling beradaptasi dengan harmonis dan memperkaya kebudayaan nusantara.
Identitas baru yang dikenal sebagai hasil glokalisasi di Indonesia mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia menerima pengaruh dari seluruh dunia sambil menggabungkannya dengan prinsip dan tradisi lokal. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya dan beragam. Data termutakhir terangkum dalam buku berjudul “Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia”, terkait jumlah pulau yang dimiliki Indonesia mencapai lebih dari 17.000. Dari jumlah itu yang sudah bernama sebanyak 13.466 pulau dan 11.000 pulau telah berpenghuni, hal ini menunjukkan bahwa budaya Indonesia sangat beragam sebagai hasil dari interaksi manusia.
Dengan lebih dari 17.000 daerah di Indonesia telah menunjukkan kemampuannya untuk mengintegrasikan pengaruh global dengan mempertahankan keunikan budaya lokal. Hal ini menciptakan identitas baru yang kaya dan dinamis, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman suku, ras, bahasa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu, glokalisasi nusantara tidak hanya berperan dalam menerima tren global tetapi juga berpartisipasi aktif dalam membangun dan mengekspresikan identitas yang berakar pada tradisi dan terbuka terhadap inovasi dan perkembangan zaman.
Irama glokalisasi dapat terlihat dari Kampung Jodipan, yang terletak di Kota Malang, Jawa Timur. Daerah kampung dengan luas wilayah 49 hektar atau setara dengan 490.000 meter persegi, pada awalnya merupakan sebuah area kumuh di tepi Sungai Brantas dengan sampah-sampah yang bertumpuk. Melihat kondisi kampung yang kotor, pada tahun 2016, sekelompok mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang memulai sebuah proyek revitalisasi dengan tujuan mengubah wajah kampung tersebut.
Mereka menginisiasi program Corporate Social Responsible (CSR) yang bekerjasama dengan perusahaan cat. Program ini terinspirasi oleh tren global dalam urban renewal dan community art yang telah populer di berbagai belahan dunia serta didukung oleh program corporate social responsibility dari sebuah perusahaan cat lokal, sehingga mengubah Kampung Jodipan menjadi kawasan wisata dengan rumah-rumah yang dicat warna-warni.
Urban renewal atau yang dikenal sebagai regenerasi perkotaan merupakan program pengembangan ulang lahan yang sering digunakan untuk mengatasi kemerosotan daerah di kota-kota besar, sehingga melalui inisiatif yang terinspirasi dari tren urban renewal dengan community art (komunitas seni) dapat menghasilkan sebuah pembenahan dengan memasukkan unsur estetika lingkungan serta dapat meningkatkan kesadaran warga setempat akan pentingnya sikap peduli terhadap lingkungan.
Semenjak kampung tersebut berubah, warga Jodipan mulai peduli pada lingkungan, mereka tidak lagi membuang sampah sembarangan, ataupun ke sungai. Sehingga, Kampung Warna Warni Jodipan mengubah mindset warga setempat. Selain itu, pemasukan warga Jodipan juga bertambah seiring meningkatnya jumlah pengunjung di kampung tersebut, oleh karenanya ekonomi lokal juga meningkat melalui bidang pariwisata. Melihat keunikan Kampung Jodipan, pemerintah meresmikannya pada tahun 2017 oleh Walikota Malang, Mochamad Anton. Bahkan oleh karena estetika nya, Kampung Warna Warni Jodipan juga pernah dijadikan sebagai tempat syuting film layar lebar, yaitu film Yowis Ben.
Kampung Jodipan menjadi salah satu bentuk glokalisasi yang terlihat dari cara komunitas setempat, yaitu mahasiswa yang menginisiasi sebuah proyek Corporate Social Responsible (CSR)dengan mengadopsi ide global tentang pariwisata berbasis komunitas dan seni jalanan, namun tetap mempertahankan identitas lokal mereka. Sehingga, terjadi transformasi dari perkampungan kumuh menjadi sebuah destinasi yang unik dan menarik dikunjungi dari adanya inisiasi program tersebut. Oleh karena itu, glokalisasi tidak hanya memperkaya serta mengembangkan kebudayaan lokal, namun juga dapat mendorong pembangunan berkelanjutan dalam bidang budaya.
Irama glokalisasi yang terus berjalan di nusantara menunjukkan bahwa identitas nasional bukanlah entitas yang statis, melainkan sebuah mozaik yang terus berkembang. Keseimbangan antara pengaruh global dan pelestarian identitas lokal adalah kunci untuk memastikan bahwa warisan budaya tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dalam konteks global yang dinamis. Dengan memeluk keragaman dan keunikan budaya lokal, dapat menciptakan harmoni yang indah antara tradisi dan modernitas untuk memperkaya identitas nusantara serta memperkuat posisinya di panggung dunia.
*)Kesya Stevany Santoso, Mahasiswa Semester 2, Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.