KANAL24, Jakarta – Dewan Energi Nasional (DEN) meminta agar PT PLN (Persero) mengoptimalkan penggunaan tenaga air dan tenaga surya di setiap pembangkit listrik, sedangkan bahan bakar gas maupun batubara sebagai sumber energi cadangan.
Menurut anggota DEN, Herman Darnel Ibrahim, optimalisasi penggunaan bahan bakar di pembangkit listrik PLN bisa dilakukan dengan mengkombinasi tenaga air, tenaga surya dan gas bumi, seperti yang diterapkan pada Pembangkit Listrik Muara Karang dan Pembangkit Listrik Tanjung Priok.
“Kombinasi penggunaan bahan bakar itu tetap diperlukan, guna menjaga emisi gas buang, tarif murah dan kontinuitas pasokan,” kata Herman dalam materi diskusi publik yang digelar Koaksi Indonesia dengan tajuk “Kualitas Udara dan Energi”, yang dirilis di Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Ke depan, kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatera Barat ini, sumber energi utama yang bisa dimanfaatkan oleh pembangkit listrik PLN berasal dari energi baru terbarukan (EBT), sedangkan gas bumi dan batubara hanya sebagai sumber energi cadangan.
Pada Rencana Umum Energi Nasional ( RUEN ), pemerintah akan meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Saat ini, pemanfaatan EBT hanya berkontribusi 13 persen dalam bauran energi nasional dan ditargetkan menjadi 23 persen pada 2025.
Lebih lanjut Herman mengatakan, penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri turut berpengaruh terhadap kecepatan mengatasi terjadinya pemadaman listrik secara mendadak. Dia menyebutkan, jika bahan bakar berupa tenaga air atau atau tenaga surya, pembangkit listrik bisa bangkit lagi dalam waktu 30 menit hingga satu jam setelah listrik padam.
“Namun, jika bahan bakarnya adalah batubara, setidaknya dibutuhkan waktu dua jam untuk bisa menghidupkan lagi pembangkit listrik tersebut,” ujar Herman.
Herman menyatakan, penggunaan bahan bakar berupa batubara, tenaga air, gas bumi dan tenaga surya masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. “Untuk batubara, harganya murah dan pasokan di dalam negeri cukup aman, namun kekurangannya adalah memiliki emisi buang lebih tinggi dan agak lamban merespons pemadaman listrik,” ucapnya.
Sementara itu, bahan bakar tenaga air, harganya cukup mahal dan kontinuitas pasokannya tidak bisa terjamin sepanjang tahun, karena adanya musim kemarau yang bisa menyebabkan debit air akan berkurang. “Kelebihan dari tenaga air adalah kadar emisinya rendah dan lebih cepat merespons,” ujar Herman.
Kondisi serupa juga terjadi pada bahan bakar berupa tenaga surya, selain harganya lebih mahal, pasokannya juga tidak bisa terjamin sepanjang hari. “Kelebihan dari tenaga surya, selain rendah emisi gas buang juga cepat merespons listrik yang padam,” katanya.
Menurut Herman, pada kondisi yang diwarnai dengan tuntutan pelanggan terhadap tarif listrik murah dan harapan terjaminnya pasokan bahan bakar, maka sejauh ini penggunaan batubara masuh dibutuhkan. “Besaran biaya listrik itu dihitung dari biaya bahan bakar, distribusi dan operasional, sehingga jika mau murah, penggunaan batubara menjadi solusinya,” ungkapnya.
Sementara itu, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan, menyebutkan keterangan resmi Kementerian ESDM telah meminta kepada badan usaha, pemerintah daerah dan masyarakat untuk memanfaatkan atap bangunan dan gedung dengan memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya ( PLTS ) Rooftop.
Saat ini Kementerian ESDM telah memasang PLTS Rooftop di seluruh gedungnya, sedangkan Pemda DKI Jakarta menargetkan penyelesaian pemasangan PLTS Rooftop pada 2022. Sehingga, perbaikan kualitas udara di Jakarta bergantung pada komitmen Pemda DKI Jakarta, terlebih lagi implementasi uji emisi gas buang kendaraan bermotor belum berjalan optimal.
Azis mengatakan, saat ini sudah ada Instruksi Gubernur DKI Jakarta No 66/2019 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengendalian Kualitas Udara Jakarta yang meminta agar semua gedung milik Pemda DKI dipasangi PLTS Rooftop.(sdk)