Kanal24, Malang – Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB), Prof. Anang Sujoko, S.Sos, M.Si, D.COMM, mengungkapkan pentingnya perdagangan karbon sebagai salah satu strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi panel bertema “Perdagangan Karbon, Solusi atau Ilusi Bagi Keselamatan Bumi?” pada Senin (25/11/2024) yang digelar oleh FISIP UB.
“Tantangan utama adalah memastikan komitmen setiap negara dalam implementasi perdagangan karbon. Tanpa regulasi yang kuat, perdagangan karbon berpotensi menjadi ilusi belaka, bahkan memperburuk ketidakadilan lingkungan,” tegasnya.
“Tantangan utama adalah memastikan komitmen setiap negara dalam implementasi perdagangan karbon. Tanpa regulasi yang kuat, perdagangan karbon berpotensi menjadi ilusi belaka, bahkan memperburuk ketidakadilan lingkungan,” tegasnya.
Prof. Anang juga menyoroti risiko lain, seperti praktik greenwashing oleh perusahaan yang hanya membeli kredit karbon tanpa mengubah operasionalnya secara signifikan. “Kita juga harus waspada terhadap ketimpangan global, di mana negara maju memanfaatkan perdagangan karbon untuk melanggengkan emisi mereka, sementara negara berkembang menjadi korban ketidakadilan lingkungan,” lanjutnya.
Sedangkan, Chalid Muhammad, Ketua Institut Hijau Indonesia, memberikan pandangan kritis terhadap mekanisme perdagangan karbon. Menurutnya, jika tidak diintegrasikan dengan komitmen pengurangan emisi karbon nasional (NDC), perdagangan karbon justru dapat menimbulkan masalah yang lebih besar.
“Perdagangan karbon bukanlah solusi utama. Fokus kita seharusnya pada penurunan emisi karbon langsung oleh semua pihak, baik individu, perusahaan, maupun negara. Tanpa itu, perdagangan karbon hanya akan menjadi ladang keuntungan bagi mafia pasar karbon, sementara bangsa kita menderita,” ujarnya.
Chalid juga menyoroti risiko kerugian besar bagi Indonesia jika perdagangan karbon tidak diatur dengan baik. Ia menekankan bahwa perdagangan karbon yang tidak terkendali dapat menyebabkan defisit karbon yang berdampak buruk pada komitmen internasional Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim.
“Mengurangi jejak karbon dengan perubahan gaya hidup dan konsumsi energi yang ramah lingkungan adalah solusi nyata. Jangan sampai perdagangan karbon hanya menjadi alat greenwashing,” tambahnya.
Diskusi ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting, antara lain mendorong regulasi yang lebih tegas untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam perdagangan karbon, mengintegrasikan mekanisme perdagangan karbon dengan target NDC nasional, menggalakkan kampanye pengurangan emisi karbon langsung di semua sektor masyarakat, dan memperkuat sistem monitoring, reporting, and verification (MRV) untuk mencegah penyalahgunaan mekanisme perdagangan karbon.
Dengan berbagai perspektif yang disampaikan, diskusi ini menjadi langkah awal bagi akademisi dan praktisi untuk terus mengupayakan solusi nyata dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
“Kita perlu memastikan bahwa perdagangan karbon tidak hanya sekadar jargon, tetapi menjadi alat efektif dalam melindungi bumi kita,” tutup Prof. Anang.
Diskusi ini diharapkan mampu mendorong kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan di tengah tantangan global yang semakin kompleks. (nid/una)