KANAL24, Malang – Memperingati 100 tahun berdirinya Hubungan Internasinal (HI), Program Studi HI FISIP Universitas Brawijaya menggelar Quo Vadis A Century of International Relations, senin (19/8/2019) di Auditorium Nuswantara FISIP UB. Seminar ini diselenggarakan dalam 2 sesi, dengan pemateri dari luar negeri yakni Assoc. Prof. Richard Devetak dari University of Queensland, Assoc. Prof. Titus Chih-Chieh Chen dari National Sun Yat-Sen University, kemudian dari dalam negeri ada Drs. Muhadi Sugiono, MA dari Universitas Gajah Mada, dan tuan rumah diwakili Yusli Effendi, S.IP, MA.
Ketua pelaksana, Muaimin Zulhair Achsin, S.IP., MA. menjelaskan kepada kanal24, arti dari istilah latin Quo Vadis adalah bagaimana orang-orang berefleksi dan mempertanyakan “sebenarnya HI mau kemana?”. Perkembangan HI seperti apa. Apalagi, di HI banyak dilakukan debat terkait isu terkini, yang dipikirkan adalah debat-debat itu akan seperti apa nantinya.
“Tepat di tahun 1919, HI berdiri. Jadi setelah kita petakan, ternyata program HI belum ada yang melakukan seperti ini di Indonesia dalam rangka peringatan 100 tahun. Makanya judulnya kita ambil Quo Vadis, kita ingin memperkenalkan bagaimana HI sekarang,” ungkap Muhaimin.
Acara ini dihadiri oleh 11 prodi HI diluar UB, audience umum, dan mahasiswi HI sendiri. Ada juga beberapa mahasiswa dari ilmu sosial, karena memang payung filsafat ilmu HI dari ilmu sosial.
“Di seminar ini, terdapat 2 sesi, sesi pertama fokus pada melihat horizonnya HI, sepanjang sejarah HI itu perdebatannya dimana, kemudian ada patahan-patahan dimana secara keilmuan. Lalu kedua, akan di addres bagaimana pemerintah atau masyarakat Cina sekarang, yang mana mereka bisa menandingi Amerika Serikat melihat HI itu seperti apa, posisi Cina di dunia mau seperti apa. Jadi, kan kita tidak bisa lagi mempolakan bahwa kekuasaan hanya dikuasai AS, sekarang kan Cina yang sangat memainkan perannya disegala lini, baik ekonomi maupun semua perangkat yang kita gunakan. Maka Prof. Chen dihadirkan karena banyak menulis soal itu,” lanjutnya
Menurut Muhaimin, pertner atau ancaman saat ini bukan hanya AS tapi juga Cina. Di seminar ini, diadakan ruang dialog dan debat secara keilmuan, tidak hanya berfokus pada isu tapi juga teori.
“Debat terhadap teori, di Indonesia masih jarang dilakukan. Makanya, kita mengambil posisi di HI Brawijaya kita ingin mengaddres masalah teori. Kalau isu, semua bisa mendeliver, tapi kalau masalah teori, jarang yang membicarakan. Harapannya, kita sama-sama berdialog atau berargumen, berdebat dan sebagainya untuk kajian teori itu sendiri. Supaya kita tau cara menganalisis suatu fenomena, tau cara penguatan tools-tools untuk membaca realita,” jelas alumni UGM tersebut.
Tujuan didakannya seminar ini, adalah untuk melihat perkembangan teori-teori yang muncul dari beberapa perspektif, hal ini yang terlebih dahulu ingin dipetakan. Bagaimana perspektifnya, kemudian seperti apa perspektif sekarang. Kemudian, setelah tau perspektifnya, akan dapat diketahui di masa depan, teori akan mengarah kemana.
“Misalkan, orang saat ini mengarah pada digitalisasi dunia. Masuknya revolusi IT dan sebagainya, tapi apa bahaya yang perlu kita hindari kalau semua orang mengarah kesana, yang akan bersifat homogen. Kita butuh perspektif berbeda untuk melihat realitas, supaya ada perspektif yang heterogen. Bayangkan saja, jika semua peneliti fokus ke big data untuk kepentingan bisnis, tidak akan ada variasi. Harus kita bedakan secara tegas kepentingan dibidang ilmu pengetahuan dan kepentingan praktis dibidang ekonomi,” pungkasnya. (meg)