KANAL24, Jakarta – Defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) Kesehatan dinilai akan semakin melebar. Pasalnya defisit yang harus ditanggung untuk tahun 2018 lalu saja belum tercover sepenuhnya. Ditambah lagi dengan angka defisit tahun ini yang jumlahnya cukup besar.
Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso, mengatakan hingga Agustus 2019 defisit keuangan mencapai Rp19 triliun. Sementara untuk defisit tahun lalu mencapai Rp9,1 triliun. Dengan begitu angka defisit tercatat sebesar Rp28,1 triliun.
Diperkirakan angkanya akan semakin bertambah mengingat bulan berjalan sampai akhir tahun masih empat bulan lagi.
“Estimasi kita (defisit) pada current running sekitar Rp28 triliunan. Ini bawaan dari tahun lalu Rp9,1 triliun, ditambah yang ada tahun ini kan Rp19 triliun,” ujar Kemal dalam keterangan persnya, Jumat (23/8/2019).
Terus membengkaknya defisit ini diakibatkan oleh banyak hal. Salah satunya ialah rendahnya tingkat kepatuhan peserta bukan penerima upah ( PBPU ) dalam membayar iuran. Sampai dengan saat ini masih ada 15 juta peserta mandiri yang menunggak pembayaran iuran.
Selain itu, Kemal menilai perlu adanya peninjauan kembali terkait besaran iuran peserta BPJS . Pasalnya, besaran iuran saat ini sudah tidak relevan lagi. “Kebutuhan (peninjauan iuran) memang cukup mendesak,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan hal yang senada. Menurut dia, besaran iuran yang tidak pernah berubah sejak 2016 perlu ditinjau kembali. Selain melakukan peninjauan kembali besaran iuran, Ani juga mendorong BPJS Kesehatan meningkatkan kepatuhan pembayaran. Hal ini sejalan dengan fungsi dibentuknya badan penjamin kesehatan negara tersebut.
“Kewajiban peserta adalah membayar iuran, yang tidak mampu ditanggung pemerintah. Yang mampu maka mereka harus disiplin membayar iuran dan itulah fungsinya BPJS diberi wewenang, hak, dan kekuasaan untuk enforcement,” ucap Sri Mulyani.(sdk)