Kanal24 – Fenomena slow living tengah menjadi sorotan sebagai gaya hidup yang menekankan kualitas hidup dibandingkan kuantitas, menawarkan keseimbangan di tengah tekanan ekonomi dan sosial. Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, menjelaskan bahwa slow living menjadi pilihan populer sejak pandemi, menawarkan solusi bagi mereka yang menghadapi tekanan hidup kota besar seperti Jakarta.
“Gaya hidup ini membantu mengurangi stres akibat polusi, kemacetan, dan tuntutan kerja yang tinggi,” ujar Raihan. Dengan mengadopsi gaya hidup ini, banyak pekerja merasa lebih puas secara emosional dan finansial.
Selain mengurangi konsumsi berlebih, slow living juga mendorong efisiensi keuangan. “Uang yang biasanya habis untuk konsumsi berlebihan kini dapat dialihkan ke tabungan atau investasi,” tambah Raihan. Namun, ia menekankan bahwa slow living bukan berarti bermalas-malasan, melainkan fokus pada produktivitas yang lebih bermakna.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyebut slow living sebagai respons terhadap tekanan kerja. “Ini menjadi penegasan bahwa hidup tidak hanya soal materi, tetapi juga kebahagiaan,” jelas Bhima. Contoh aplikasinya adalah pengurangan jam kerja menjadi empat hari seminggu, yang sudah diterapkan di beberapa negara maju dan mulai diadaptasi di Indonesia.
Bagi generasi muda seperti Gen Z dan Milenial, konsep ini mendorong banyak individu kembali ke pedesaan atau memilih pekerjaan yang memberikan fleksibilitas lebih besar. “Mereka tetap bisa memperoleh penghasilan memadai dengan tekanan kerja yang lebih rendah,” tambah Bhima.
Ekonom Celios, Nailul Huda, menyoroti bahwa perubahan preferensi pekerja terhadap work-life balance juga menjadi faktor utama. Banyak pekerja kini mencari kota dengan biaya hidup lebih murah tetapi tetap memiliki akses ke infrastruktur modern. “Bayaran standar Jakarta, tapi biaya hidup lebih rendah, menjadi daya tarik,” ungkap Nailul.
Konsep slow living, selain memberikan dampak positif pada individu, juga dapat mendukung pemerataan ekonomi dengan menyebarkan peredaran uang ke wilayah-wilayah penyangga. Dengan demikian, slow living bukan sekadar gaya hidup, tetapi juga strategi dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.