Kanal24, Malang – Pemecatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, dan Bobby Nasution dari keanggotaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menarik perhatian publik. Langkah ini dinilai lumrah dalam dinamika partai politik, namun juga menciptakan polemik mengingat tokoh-tokoh tersebut memiliki posisi strategis di kancah politik nasional.
Dosen Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA., menyebut bahwa keputusan PDIP tersebut wajar mengingat setiap partai memiliki aturan keanggotaan.
“Kalau pandangan saya, itu adalah sebuah kelumrahan karena PDIP kan punya aturan main terkait keanggotaan. Jika sudah tidak sejalan dengan kebijakan partai, pasti ada kebijakan tertentu, seperti memberhentikan anggotanya,” ujar Andhyka (17/12/2024).
Namun, Andhyka menambahkan bahwa situasi ini menjadi menarik karena tokoh-tokoh yang diberhentikan bukanlah sosok sembarangan. “Yang diberhentikan ini kan mantan presiden, wakil presiden terpilih, dan kepala daerah. Harusnya ketokohan Pak Jokowi, Gibran, dan Bobby bisa menjadi brand yang memperkuat partai,” tambahnya.
Terkait dampak pemecatan ini terhadap basis pemilih PDIP, Andhyka menilai akan ada pengaruh signifikan, terutama di kalangan loyalis Jokowi. “Pak Jokowi itu punya basis real yang beririsan dengan pemilih PDIP. Meski PDIP dikenal memiliki kader ideologis yang loyal, tetap saja ada pengaruh di akar rumput,” jelasnya.
Menurutnya, meskipun PDIP sedang memperkuat basis internalnya menjelang kongres, keputusan ini berpotensi menciptakan pergeseran dukungan jika Jokowi memilih membentuk poros politik baru. “Jika Pak Jokowi membuat partai sendiri atau membangun jejaring baru, maka sebagian besar basisnya akan berpindah, karena citra positif Pak Jokowi di masyarakat masih kuat,” ungkap Andhyka.
Saat ditanya langkah politik terbaik bagi Jokowi pasca pemecatan, Andhyka berpendapat bahwa mendirikan partai baru menjadi pilihan paling rasional jika ingin lebih independen.
“Kalau Pak Jokowi ingin bebas dari intervensi, langkah terbaik adalah membuat partai sendiri. Jejaring relawan projo di daerah masih kuat, ditambah dengan citra positif sebagai presiden dua periode. Momentum ini harus dimanfaatkan karena beliau masih memiliki pengaruh politik yang kuat,” ujarnya.
Namun, Andhyka juga menekankan tantangan besar dalam membentuk partai baru, terutama soal sumber daya. “Membangun partai itu butuh effort dan resources besar. Contohnya Nasdem yang punya dukungan ormas dan media ketika dibangun. Jika Pak Jokowi tidak menggandeng tokoh-tokoh besar atau pengusaha untuk membiayai struktur partainya, akan sulit berkembang,” lanjutnya.
Menurut Andhyka, jika Jokowi memilih bergabung dengan partai besar di Koalisi Indonesia Maju (KIM) seperti PAN atau Golkar, potensi intervensi dari tokoh senior partai tetap ada. “Di Golkar misalnya, masih ada tokoh berpengaruh seperti Akbar Tanjung atau Jusuf Kalla. Jadi, jika ingin lebih independen, membuat partai sendiri adalah pilihan terbaik,” tegasnya.
Meski demikian, Andhyka menyebut langkah Jokowi masih bersifat wait and see. “Gerak-gerik Pak Jokowi sepertinya mengarah ke pendirian partai baru, mirip dengan langkah SBY dulu saat membentuk Partai Demokrat. Namun, semua ini tentu tergantung pada keputusan politik Pak Jokowi dan jejaring yang mendukungnya,” pungkasnya.(din/sdk)