KANAL24, Malang – Pakar kajian sosial Universitas Brawijaya Lutfi Amiruddin, S.Sos., M.Sc mengatakan bahwa industri pariwisata juga harus melihat aspek sosial. Karena selama ini, Lutfi menilai pariwisata belum maksimal dinikmati oleh masyarakat.
“Jadi dalam seminggu kemarin, saya bikin riset kecil di google dan di trip advisor. Hasilnya menunjukkan tourism in east java yang muncul dalam satu minggu ada 3 lokasi yakni Bromo, Kawah Ijen, dan Museum Angkut. Tiga-tiganya bertahan dalam satu minggu dan antara google dengan trip advisor itu hasilnya sama, artinya potensi yang dilirik oleh netizen dan potensi ekonomi ada di tiga tempat itu,” terang Lutfi.
Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu sebenarnya punya potensi 3 hal itu sekarang tinggal bagaimana kepala daerah-kepala daerah itu menyamakan visi berkolaborasi bagaimana cara mengambil ceruk ekonomi ini.
“Saya menekankan pada kita tidak boleh bicara parisiwata yang sifatnya masal, karena itu dampaknya kelihatan. Misalnya, ekonomi hanya terpusat pada pengusaha-pengusaha besar, masyarakat setempat hanya dapat remah-remahnya saja. Maka, sekarang banyak muncul alternatif pariwisata berupa desa wisata yang dikelola sendiri oleh masyarakat setempat,” lanjutnya.
Diperlukan pada penguatan komunitas-komunitas local, supaya mereka bisa berdaya untuk mengelola potensi mereka sendiri bukan kemudian diserahkan kepada swasta yang levelnya besar. Potensi tetap di Bromo, Museum Angkut, dan Kawah Ijen tetapi bagaimana komunitas-komunitas lokal itu juga dapat durian runtuhnya.
“Untungnya kalau kita berbicara Malang Raya, desa wisata mulai tumbuh. Sekarang, yang harus kita wanti-wanti adalah ada kecenderungan dan itu menjadi kritik di kajian pariwisata. Orang-orang yang tampil di desa wisata atau berdaya mengelola potensi lokal mereka juga menjadi semacam elit-elit kecil di lingkungannya. Pada intinya pemerataan itu terpolarisasi lagi,” tambah dosen sosiologi UB itu.
Menurut Lutfi, dari berbagai pihak wajib untuk melakukan antisipasi agar kue pariwisata bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Selanjutnya, adalah masalah ekologi. Industri pariwisata adalah industri ramah tamah, bersenang-senang bersifat sekunder atau tersier. Artinya jangan sampai kemudian, industri ini menutup atau bahkan melupakan industri yang sifatnya primer. Seperti bagaiamana pariwisata membatasi orang untuk mengakses SDA mereka. Ini menjadi warning kita agar kita aware dengan itu. Jangan sampai pariwisata menghambat orang mengakses air, pangan, lahan dsb.
“Beberapa gejala sudah muncul, seperti orang ingin mengakses air harus berhadapan dengan industri pariwisata dan persoalan lahan yang menimbulkan konflik. Bagaimana masyarakat itu pada akhirnya susah untuk mengakses sumber daya mereka,” pungkasnya.
Pariwisata boleh jalan tapi tidak boleh melupakan bahwa warga setempat juga membutuhkan kebutuhan primer. Memang pariwisata sangat menggerakkan ekonomi, jika berbicara soal balik modal, industri pariwisata balik modalnya relatif lebih cepat karena sangat terbantu dengan adanya internet, Instagram, youtube dan segala macam. Tapi kemudian secara sosial, lingkungan, dan aksesibilitas atas SDA juga harus diperhatikan. Hal yang patut digaris bawahi adalah apapun industrinya masyarakat harus terjamin keselamatannya. (meg)