Kanal24, Malang – Kemunculan DeepSeek, asisten kecerdasan buatan (AI) asal China, telah mengejutkan dunia teknologi dan memicu perdebatan mengenai kemampuannya dalam menyaingi model AI yang lebih dulu populer seperti ChatGPT, Gemini, dan lainnya. Bahkan, DeepSeek sempat disebut lebih akurat dalam memahami informasi faktual dan menjawab pertanyaan kompleks, menimbulkan pertanyaan besar: apakah AI ini benar-benar lebih unggul?
DeepSeek menarik perhatian setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyebutnya sebagai “peringatan” bagi industri teknologi AS. Klaim DeepSeek terkait efisiensi biaya pengembangan model AI mereka, yang dikatakan jauh lebih murah dibandingkan para pesaingnya, menimbulkan dampak besar di dunia bisnis, termasuk anjloknya nilai saham beberapa perusahaan teknologi terbesar.
Hanya dalam satu minggu setelah peluncurannya, DeepSeek menjadi aplikasi gratis yang paling banyak diunduh di AS. Keberhasilannya dalam menembus pasar yang sebelumnya didominasi oleh OpenAI dan Google menunjukkan bahwa persaingan di bidang AI semakin sengit.
Baca juga:
Penguji AI: Profesi Baru di Era Kecerdasan Buatan
Creative Generalist: Strategi Sukses di Era Kecerdasan Buatan
Pakar IT: Masih Terlalu Dini Menentukan Pemenang
Alfons Tanujaya, Pakar Keamanan Siber dan IT dari Vaksincom, menilai bahwa meskipun DeepSeek telah membuat gebrakan besar, masih terlalu dini untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Namun, keberhasilan DeepSeek dalam menantang raksasa Silicon Valley seperti Google, Meta, Amazon, dan Microsoft bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan.
“China telah menunjukkan kemampuannya dalam menghadirkan inovasi yang mampu bersaing secara global. Lihat saja bagaimana TikTok berhasil menyaingi Instagram atau Alibaba yang mengungguli Amazon di pasar domestiknya,” ujar Alfons.
Menurutnya, kesuksesan ini didukung oleh kombinasi keuletan, persaingan ketat, serta dukungan pemerintah China terhadap pengembangan teknologi.
Salah satu keunggulan DeepSeek yang mencolok adalah efisiensi biaya. Dengan biaya sekitar 4% dari yang dikeluarkan OpenAI, DeepSeek mampu menghadirkan layanan AI yang sebanding dengan ChatGPT. Hal ini memunculkan kekhawatiran di kalangan perusahaan teknologi besar, mengingat investasi mereka dalam AI telah menghabiskan dana yang sangat besar.
Keamanan Data: Haruskah Pengguna Indonesia Khawatir?
Meski menawarkan kemampuan canggih, DeepSeek menghadapi isu keamanan data setelah mengalami serangan siber. Beberapa negara bahkan mulai mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan AI ini karena kekhawatiran terhadap penyimpanan data pengguna di server China.
Namun, Alfons Tanujaya menilai bahwa kekhawatiran ini agak berlebihan. “Saat kita menggunakan ChatGPT, Google Maps, Instagram, atau WhatsApp, kita jarang mempertanyakan keamanan data, meskipun server mereka berada di AS. Lantas, apakah data yang dikendalikan AS lebih aman dibandingkan dengan yang dikelola China?”
Menurutnya, pengguna di Indonesia tidak perlu terlalu khawatir karena data yang dikumpulkan DeepSeek tidak jauh berbeda dengan data yang diambil oleh berbagai aplikasi populer lainnya.
Baca juga:
Penguji AI: Profesi Baru di Era Kecerdasan Buatan
Creative Generalist: Strategi Sukses di Era Kecerdasan Buatan
Jangan Takut AI, Tapi Pahami Kelemahannya
Alfons mengingatkan bahwa meskipun AI menawarkan berbagai manfaat, pengguna tetap harus memahami batas dan kelemahannya. “Jika kita terlalu takut menggunakan AI karena isu keamanan, kita justru akan semakin tertinggal dalam pemanfaatan teknologi ini. Negara-negara lain sudah berlari kencang dalam inovasi AI, dan kita seharusnya tidak ketinggalan.”
Namun demikian, ia mengimbau agar pengguna tetap kritis terhadap hasil yang diberikan AI. “Jangan percaya 100% pada AI karena tidak ada jaminan bahwa informasi yang diberikan selalu akurat,” tutupnya.
Dengan segala keunggulan dan tantangan yang ada, persaingan antara DeepSeek dan ChatGPT masih akan terus berlangsung. Apakah DeepSeek benar-benar bisa menggantikan dominasi ChatGPT? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. (nid)