Proses belajar mengajar bukanlah hanya sekedar proses menyampaikan ilmu dan menerima ilmu. Namun ta’limul muta’allim adalah proses membangun loyalitas antara murid dan guru. Loyalitas adalah puncak dari seluruh pola hubungan interaksi. Dalam proses belajar mengajar maka pola hubungan yang dibentuk adalah antara murid dan guru, murid dan lembaga pendidikan tempat menimba ilmu, dan dengan ilmu itu sendiri. Loyalitas haruslah dibuktikan dengan semangat dan tindakan pengorbanan. Karena loyalitas tanpa pengorbanan adalah kepalsuan.
Tiadalah contoh terbaik nan sempurna tentang cara belajar dan seluruh rangkaian pola hubungannya hingga mampu mencapai hasil maksimal berupa perubahan kehidupan ke arah yang jauh lebih baik dari sebelumnya dan kemudian menjadi contoh pusat peradaban terbaik kecuali apa yang telah diteladankan oleh para sahabat Rasulullah saw. Sehingga jika seseorang menginginkan ilmu yang berkah dan manfaat maka ikutilah jejak para sahabat yang telah mempelajari dan mendapatkan ilmu dari sumber utamanya yaitu Rasulullah saw tentang bagaimana cara mereka memperolehnya dan bersikap serta berakhlaq terhadap guru mulia mereka. Cobalah perhatikan kehidupan para sahabat nabi dalam membangun loyalitas belajarnya kepada Maha Guru mereka yaitu Rasulullah saw melalui pengorbanan terbaiknya dan mereka saling berlomba-lomba memberikan loyalitas pengorbanannya sehingga menjadi peristiwa yang mengharu birukan dalam tinta emas sejarah.
Tercatatlah dalam sejarah tentang pengorbanan sikap Zaid bin Haritsah dalan mendampingi Sang Maha Gurunya, Rasulullah saw saat hijrah pertama kali ke Thaif. Bukannya mendapatkan sikap penerimaan yang baik atas ajakan dakwahnya bahkan melainkan memperoleh hinaan, cacian, makian bahkan persekusi yang berujung pada kekerasan fisik akibat provokasi yang dilakukan oleh tokoh kafir Makkah sebelumnya terhadap penduduk Thaif hingga Rasulullah diusir dan dilempari batu. Demi untuk melindungi Sang Maha Gurunya, Zaid bin Haritsah rela mengorbannya dirinya menjadi tameng hidup Rasulullah dari lemparan batu anak kecil dan para penduduk Thaif hingga kepala Zaid berdarah.
Demikian pula yang ditunjukkan oleh sahabat terbaik sepanjang sejarah yang apabila bersamanya walau hanya satu jam saja lebih baik daripada seluruh bumi yang dipenuhi orang-orang beriman seperti orang-orang beriman pada masa Fir’aun, demikian kata Sayyidina Ali ra. Sayyidina Abu Bakar telah menjadi contoh sempurna dari loyalitas seorang murid, sahabat, terhadap Guru Mulianya dan sekaligus sahabatnya, yaitu Rasulullah saw. Abu Bakar adalah orang pertama dikalangan sebaya Nabi yang menyatakan keyakinan dan kepercayaannya kepada Islam tanpa sedikitpun ada pertanyaan dan keraguan atas diri Nabi dan ajaran yang dibawanya. Beliaulah orang pertama yang memberikan kepercayaan dan memutuskan segala keraguan atas apa yang terjadi dan disampaikan oleh Nabi disaat banyak orang tidak percaya dan meragukan kejadian diperjalankannya Nabi dari Makkah ke Madinah lalu ke Baitul Maqdis hingga ke shidratil muntaha dalam waktu yang sangat singkat di malam isra mi’raj. Beliau pulalah yang membersamai Rasulullah saw dikala akan dibunuh oleh kalangan kafir makkah saat hijrah, hingga kerisauannya atas jiwa nabi ditampilkan kala berjalan bersamanya. Beliau terkadang lari mendahului nabi ke depan atau tiba-tiba berhenti dan lari ke belakang hanya untuk memastikan bahwa Rasulullah aman selama perjalanan dan tidak ada orang yang membuntuti untuk menyakitinya. Demikian pula beliaulah yang memastikan keamanan nabi saat akan memasuki gua di bukit Tsur dari segala binatang serangga yang akan mencelakakan nabi, hingga setelah masuk ke dalamnya dan memastikan nabi bisa istirahat dengan nyaman diatas pangkuannya namun ternyata masih ada satu lubang yang belum ditutupi sebelumnya hingga beliau tutup lobang itu dengan tumitnya yang ternyata di lobang itu terdapat ular berbisa, hingga kaki beliau digigitnya. Dalam rasa sakit yang amat sangat memuncak, menetes air matanya dan jatuh pada Rasulullah yang ada di pangkuannya.
Loyalitas Abu Bakar selaku sahabat sekaligus murid Rasulullah saw benar-benar sempurna dan berada di puncak loyalitas, beliau lebih mendahulukan Rasulullah diatas segalanya, termasuk atas dirinya dan keluarganya. Disaat Aisyah ra selaku istri Nabi sedang tertimpa fitnah yang melibatkan keluarga nabi hingga Aisyah pulang ke rumah sang ayah, yaitu Abu Bakar ra, alih-alih mendapatkan pembelaan dari sang ayah namun saat di hadapan Nabi, Abu Bakar tetap lebih mendahulukan Rasulullah, sebagai gurunya, sahabatnya sekaligus sebagai menantunya, dibandingkan atas anaknya, keluarganya dan dirinya sendiri. Bagi Abu Bakar, Rasulullah saw adalah segalanya, melebihi dari apapun di dunia ini, tentu setelah Allah swt.
Demikian pula disaat perang Tabuk dikumandangkan, maka Abu Bakar adalah orang yang menyerahkan seluruh hartanya untuk digunakan berjihad oleh Rasulullah di jalan Allah swt, bahkan jawaban Abu Bakar ketika ditanya Nabi tentang apa yang beliau tinggalkan untuk keluarganya. Maka beliau menjawab,”Aku telah meninggalkan dua hal yang lebih baik dari dunia dan seisinya, yaitu Allah dan Rasul-Nya.” Hingga sayyidina Umar bin Khattab pun yang ingin menandinginya tak mampu melakukan hal serupa pengorbanan yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar ash Shiddiq.
Tercatatlah pula seorang sahabat yang sangat kokoh pendiriannya juga memberikan contoh keteladanan yang luar biasa kepada kita semua tentang perlunya mewujudkan loyalitas atas keyakinan yang harus berbuah pada pengorbanan. Tersebutlah sahabat bernama Habib bin Zaid, seorang anak muda yang telah berjanji setia semenjak kecil untuk berada dalam barisan orang-orang beriman bersama Rasulullah saw sang maha guru yang mengajarkan kebaikan dan membimbing menuju jalan sorga. Hingga pada suatu waktu beliau mendapatkan tugas dari Rasulullah saw untuk mengantar surat peringatan kepada Musailamah al kadzdzab sang pembohong. Sikap dhalim sang pembohong ditunjukkan kepada seorang utusan yang di dalam islam hal ini sangat di hormati. Sahabat Habib bin zaid dihadapkan kepada musailamah al kadzdzab dalam keadaan terhina, dan karena keteguhan keyakinannya serta loyalitasnya kepada Rasulullah.
Para sahabat Nabi telah memberikan keteladanan tentang loyalitas dan pengorbanan kepada seorang guru. Hal ini memberikan pelajaran tentang membangun loyalitas dalam proses hubungan seorang murid dengan guru bahwa proses pembelajaran haruslah mampu berujung pada loyalitas dari seorang murid pada guru melalui pengorbanan. Loyalitas dan pengorbanan inilah yang akan melahirkan keberkahan ilmu. Seorang murid haruslah membuktikan pengorbanannya pada guru dan lembaga pendidikan yang telah membesarkan dirinya dengan mengkontribusikan apa saja dari potensi dirinya untuk mendukung pemikiran dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh sang guru. Sikap iltizam kepada guru dan lembaga (pondok, sekolah) sangatlah dituntut dalam sistem pendidikan islam sebagaimana yang dicontohkan oleh para ulama masa lalu sehingga mampu menghasilkan kader-kader dakwah yang bertugas menyebarkan ilmu dan islam di tengah kehidupan masyarakat. Sehingga sangat tepatlah apa yang dikatakan oleh assayyid Prof. Dr. Muhammad bin Alwi al maliki pada suatu kesempatan kepada muridnya, KH. Ihya Ulumiddin, dengan pertanyaan, “Hal laka mulaazim.?” (Apakah kamu sudah mempunyai seorang loyalis?). Karena dalam loyalitas akan melahirkan kebermanfaatan dan keberkahan berilmu. Dalam realitas sistem manajemen pendidikan modern, loyalitas pola hubungan ini dibutuhkan dalam proses pengembangan manajemen terlebih untuk kepentingan penilaian kualitas suatu organisasi.
Demikianlah islam memberikan arahan agar ilmu mampu memberikan kemanfaatan dan keberkahan. Dan dari keduanya, ilmu akan menjadi pelita yang terus menerangi jalan kehidupan. Semoga Allah swt selalu memberkahi dan meridhoi kita yang selalu berada di jalan ilmu. Aamiin
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar