Kanal24, Malang – Kebijakan tarif tinggi yang digagas oleh Donald Trump selama masa kepemimpinannya sebagai Presiden Amerika Serikat terus menjadi bahan diskusi hangat dalam konteks ekonomi dan hubungan internasional. Trump melalui slogan kampanyenya Make America Great Again, mengusung pendekatan proteksionisme yang dianggap sebagai langkah untuk memulihkan kejayaan industri dalam negeri Amerika yang dinilai telah melemah dalam beberapa dekade terakhir.
Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S., dosen sekaligus pengamat politik luar negeri dari Universitas Brawijaya, menyampaikan bahwa langkah Trump tidak bisa dilepaskan dari kondisi struktural ekonomi Amerika yang mengalami tantangan serius.
“Selama 20 hingga 30 tahun terakhir, Amerika menghadapi peningkatan ongkos produksi yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan besar, termasuk Apple, memindahkan proses produksinya ke negara-negara dengan ongkos produksi yang lebih murah, seperti Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya (16/4/2025).
Baca juga:
Efek Tarif Impor Donald Trump, Ribuan Bisnis di Amerika Terancam Bangkrut

Menurut Adhi, kondisi ini tidak hanya berlaku di sektor teknologi, tetapi juga di sektor tekstil dan manufaktur lainnya. Produk-produk dengan merek ternama dari Amerika kini banyak diproduksi di Indonesia, Vietnam, Bangladesh, hingga Kamboja, yang menawarkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan efisiensi logistik.
Dalam konteks ini, Trump berupaya mengembalikan posisi Amerika sebagai pusat produksi dunia melalui pemberlakuan tarif tinggi atas barang impor. Tujuannya adalah menciptakan insentif bagi produsen untuk kembali ke tanah Amerika dan menciptakan lapangan kerja lokal. Namun Adhi menilai strategi ini sangat sulit untuk berhasil di era globalisasi ekonomi seperti sekarang.
“Perusahaan pada dasarnya akan mencari efisiensi produksi. Jika biaya di dalam negeri terlalu tinggi, mereka tidak akan mau kembali hanya karena adanya tarif tinggi. Bahkan bisa jadi, kebijakan ini malah memicu harga-harga barang naik di pasar domestik Amerika,” jelasnya.
Baca juga:
Mengenal Tarif Resiprokal Trump: Tujuan, Dampak, Sejarah
Adhi mengingatkan bahwa kebijakan Trump ini berpotensi menyeret Amerika Serikat kembali ke era proteksionisme seperti pada 1920–1940, ketika negara tersebut menutup diri dari arus perdagangan global. Padahal, dunia saat ini telah memasuki era keterhubungan global yang kompleks, di mana kolaborasi antarnegara dalam produksi dan distribusi menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut, Adhi menyarankan agar Amerika fokus pada penguatan sektor-sektor masa depan seperti teknologi digital, pertahanan, pendidikan, dan inovasi. “Menjadi pusat produksi seperti masa lalu sudah tidak relevan. Dunia sudah berubah, dan negara yang ingin tetap unggul harus adaptif terhadap perubahan tersebut,” pungkasnya. (nid/rey)