Kanal24, Malang — Penelitian mendalam tentang rendahnya tingkat adopsi teknologi dalam Industri 4.0 di Indonesia mengantarkan Dr. Yuli Sartono meraih predikat Wisudawan Terbaik Program Doktor Universitas Brawijaya (UB). Lulusan Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), yang resmi menyandang predikat wisudawan terbaik Program Doktor dengan IPK sempurna 4.00 dan masa studi hanya 3 tahun 4 bulan pada Sabtu (03/05/2025). Melalui disertasinya, Yuli mengupas secara akademik berbagai faktor non-teknologi yang menghambat transformasi digital di sektor manufaktur nasional—sebuah topik krusial yang erat kaitannya dengan visi besar “Making Indonesia 4.0”.
Baca juga:
Dosen UB Sosialisasi Kesehatan dan Digitalisasi Bumdes di Pamekasan
Dr. Yuli dikenal sebagai sosok penting di PT Schneider Indonesia, perusahaan yang telah ditunjuk sebagai Lighthouse Industry 4.0 oleh World Economic Forum pada 2019. Berangkat dari pengalaman tersebut, ia terdorong untuk melakukan riset terkait rendahnya tingkat adopsi teknologi di kalangan industri Indonesia.
“Dari ribuan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Kementerian Perindustrian, kurang dari satu persen yang benar-benar mengadopsi teknologi Industry 4.0. Ini bukan soal teknologinya, tapi soal faktor-faktor non-teknologi seperti kepercayaan dan kesiapan sumber daya manusianya,” jelasnya.
Penelitiannya pun fokus pada aspek perilaku adopsi teknologi, dengan menyoroti dua elemen kunci yaitu digital trust (kepercayaan terhadap data dan teknologi) serta self-efficacy (keyakinan individu dalam menggunakan teknologi).
Menurutnya, pendekatan administrasi bisnis sangat relevan untuk memahami dinamika adopsi teknologi, karena hambatan yang terjadi bukan hanya teknis, melainkan juga budaya organisasi dan psikologis.
“Saya merekomendasikan beberapa kebijakan yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah dan pelaku industri. Salah satunya adalah perlunya dialog yang terbuka antara praktisi dan akademisi agar proses adopsi teknologi bisa dipercepat dan tepat sasaran,” lanjutnya.
Prestasi akademik Dr. Yuli juga tidak main-main. Selain lulus dengan predikat cumlaude, ia telah menerbitkan tiga artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi (Scopus) dan memiliki satu paten yang telah disahkan.
Dalam pandangannya, revolusi industri tidak bisa dilepaskan dari agenda besar dunia, yakni Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Oleh karena itu, transformasi digital di sektor industri juga harus selaras dengan prinsip keberlanjutan.
“Sustainability sekarang menjadi norma global. Industri harus bisa membangun kepercayaan terhadap data digital dan memperkuat kompetensi SDM-nya agar dapat bertahan dan berkembang di tengah arus globalisasi,” paparnya.
Ketika ditanya soal langkah selanjutnya, Dr. Yuli dengan rendah hati mengatakan bahwa usianya yang hampir menginjak 60 tahun bukan menjadi penghalang untuk terus berkarya. Ia justru ingin semakin aktif menyinergikan ilmu dan pengalaman untuk membangun dialog yang konstruktif antara dunia praktik dan dunia akademik.
“Yang muda jangan kalah semangat. Di angkatan saya saja, dari 12 orang, 7 sudah lulus dan lima di antaranya lulus dengan predikat cumlaude, padahal usia rata-rata kami hampir 60 tahun. Jadi jangan pernah merasa terlambat untuk belajar dan berkontribusi,” pesan Dr. Yuli.
Baca juga:
Dosen UB Angkat Isu Disabilitas dalam Film Dokumenter
Ia pun menutup dengan filosofi unik yang ia pegang teguh, “Selama CPU ini masih bisa memproses, belajar jangan berhenti. Kalau otak tidak dipakai, lama-lama error juga.”
Melalui pencapaian ini, Dr. Yuli Sartono tidak hanya menginspirasi sesama profesional untuk menempuh jalur akademik, tetapi juga menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengalaman bisa berpadu demi menjawab tantangan bangsa di era revolusi industri digital. (nid/daf)