Oleh: Andhyka Muttaqin
Beberapa bulan terakhir, suasana di berbagai kampus terasa memanas. Pemilihan dekan dan pimpinan fakultas menjadi pembicaraan hangat di berbagai sudut ruang bukan hanya di rapat resmi, tetapi juga di ruang dosen, grup percakapan, bahkan merembet ke kelas-kelas mahasiswa. Ini adalah bagian dari dinamika kehidupan kampus, namun ada satu hal penting yang perlu kita jaga adalah jangan sampai hiruk-pikuk politik kampus melupakan kita pada jati diri universitas.
Kampus sejatinya bukan panggung politik. Kampus adalah tempat belajar, berpikir kritis, meneliti, dan mencetak generasi masa depan yang berintegritas. Ketika kontestasi jabatan disikapi dengan ambisi berlebihan, saling menjatuhkan, bahkan memecah relasi antarwarga kampus, maka yang rusak bukan hanya hubungan personal tetapi juga suasana akademik yang seharusnya kondusif.
Kita semua harus ingat bahwa peran utama dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa adalah sebagai bagian dari masyarakat ilmiah, bukan sebagai politisi. Pemilihan pimpinan memang penting, tapi itu bukan segalanya. Prosesnya harus dijalani dengan etika, kejujuran, dan kedewasaan. Tidak perlu menghalalkan segala cara demi jabatan.
Kampus yang sehat adalah kampus yang bisa menjaga suasana kondusif, terbuka untuk dialog, dan saling menghargai. Jangan sampai mahasiswa ikut merasakan bahwa kampusnya lebih sibuk dengan urusan kekuasaan daripada urusan ilmu. Jangan biarkan pendidikan tersisih oleh ambisi.
Mari kita rawat marwah kampus. Jadikan dinamika pemilihan sebagai bagian dari pembelajaran demokrasi yang matang, bukan ajang perebutan yang merusak nilai. Karena pada akhirnya, kita semua ada di sini bukan untuk menang, tapi untuk membangun.(*)
*Penulis adalah Dosen FIA UB