Kanal24, Malang — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Kementerian Ketenagakerjaan menggelar konferensi pers bertajuk “Penyampaian Hasil Pengamatan Situasi HAM atas Pengaduan PHK ke Komnas HAM” pada Kamis (5/6/2025). Agenda ini menjadi momentum penting dalam merespon meningkatnya pengaduan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dinilai mengkhawatirkan dan berdampak luas terhadap hak-hak pekerja.
Dalam kesempatan tersebut, Mediator Ahli Madya Koordinator Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial, Fritz Mison Saortua, menekankan bahwa PHK bukan hanya persoalan ketenagakerjaan, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan dan hak asasi. “PHK tidak boleh hanya dilihat sebagai urusan pekerjaan semata. Ini adalah persoalan hak, dan dalam banyak kasus, praktik PHK mencerminkan pelanggaran prinsip-prinsip dasar HAM,” ujarnya.
Baca juga:
Pakar Hukum UB Soroti Proses Pembentukan UU TNI yang Tidak Transparan
Lonjakan PHK dan Penyebabnya
Data yang disampaikan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2025 hingga 30 April, telah terjadi sekitar 26.000 kasus PHK. Meskipun jumlah ini belum menyaingi angka tahun 2024 yang mencapai 77.000, tren kenaikan tetap menjadi sinyal bahaya bagi dunia kerja nasional.
Menurut Fritz, ada tujuh faktor utama penyebab PHK yang sering ditemukan dalam laporan:
- Penurunan pasar baik domestik maupun global, yang memicu efisiensi tenaga kerja.
- Relokasi perusahaan ke daerah dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.
- Perselisihan industrial antara pekerja dan pengusaha.
- Aksi mogok kerja yang berujung pada klasifikasi pengunduran diri sepihak.
- Efisiensi karena tekanan ekonomi.
- Transformasi bisnis dan adopsi teknologi, mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia.
- Kondisi pailit perusahaan karena tekanan finansial berkepanjangan.
“Dunia industri kini menghadapi tantangan yang kompleks dari sisi ekonomi, pasar global, hingga transformasi digital. Maka penting bagi semua pihak untuk meningkatkan kompetensi pekerja dan memperkuat dialog sosial antara pengusaha dan pekerja,” tegas Fritz.
Peran Pemerintah dan Skema Dukungan
Pemerintah, menurut Fritz, terus berupaya menyediakan berbagai stimulus untuk menjaga keberlangsungan industri dan melindungi tenaga kerja. Dukungan yang diberikan termasuk:
- Subsidi investasi dan potongan harga mesin untuk industri padat karya.
- Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk buruh bergaji di bawah Rp3,5 juta, termasuk tenaga honorer.
- Implementasi Zat PHK, sebuah unit baru untuk merespons dampak dan pencegahan PHK, sesuai arahan Presiden Prabowo.
Selain itu, pelatihan kerja melalui Balai Latihan Kerja (BLK) juga diperluas. Pemerintah menghapus batasan usia dalam pelatihan dan rekrutmen agar korban PHK, termasuk mereka yang berusia di atas 35 tahun, tetap mendapat kesempatan.
Jaminan Proses PHK dan Dialog Sosial
Mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan PP 35, Fritz mengingatkan bahwa PHK harus menjadi jalan terakhir (last resort) dan dilakukan melalui dialog terbuka antara pekerja dan pengusaha. “Mekanisme PHK itu harus dilakukan secara sah, manusiawi, dan adil. Surat pemberitahuan PHK harus diberikan minimal 14 hari sebelumnya, dengan hak pekerja untuk mengajukan keberatan dalam waktu tujuh hari,” jelasnya.
Jika pekerja tergabung dalam serikat, maka pemberitahuan juga harus diberikan kepada serikat tersebut. Ini bertujuan agar pekerja tidak kehilangan hak perwakilan dan perlindungan selama proses berlangsung.
Sorotan terhadap Sektor Tertentu
Beberapa sektor dinilai mengalami tekanan berat, seperti industri tambang (Minerba) dan industri rokok. Kebijakan Cukai Rokok, misalnya, dinilai berpotensi mengancam nasib ribuan pekerja tembakau. Pemerintah diminta berhati-hati agar kebijakan ekonomi tidak berdampak negatif pada keberlanjutan pekerjaan di sektor padat karya.
Rekomendasi Komnas HAM
Komnas HAM menegaskan pentingnya pemantauan dan perlindungan HAM dalam setiap proses PHK. Praktik PHK harus tunduk pada prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Komnas HAM mendorong pembentukan mekanisme resolusi yang partisipatif dan inklusif serta penguatan lembaga tripartit (pemerintah, pekerja, pengusaha) dalam menyelesaikan konflik industrial.
Baca juga:
Dinamika UU TNI dan Gelombang Protes yang Terus Bergulir
Konferensi ini sekaligus memperlihatkan bahwa persoalan PHK bukan hanya urusan teknis ketenagakerjaan, tetapi juga cermin dari bagaimana negara melindungi martabat dan keberlangsungan hidup warga negara yang bekerja.
Gelombang PHK yang terus meningkat menandakan krisis yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah, dunia usaha, dan organisasi pekerja dituntut untuk memperkuat kolaborasi, menjunjung tinggi prinsip HAM, serta membangun ekosistem kerja yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. (nid)