Kanal24, Malang — Harga minyak dunia mengalami penurunan tajam pada perdagangan hari ini akibat ketegangan geopolitik yang memanas di Timur Tengah. Ketidakpastian terkait potensi gencatan senjata antara Iran dan Israel menjadi faktor utama yang menekan harga minyak, meski serangan masih berlangsung di beberapa titik strategis.
Berdasarkan data yang dikutip dari CNBC, harga minyak mentah Amerika Serikat (WTI) turun sebesar USD 1,21 atau 1,66% ke level USD 71,77 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent, sebagai patokan harga global, juga mengalami penurunan sebesar USD 1 atau 1,35% menjadi USD 73,23 per barel.
Baca juga:
Diskon Tiket Pesawat Tak Dongkrak Minat Dadakan
Penurunan ini terjadi setelah harga minyak sempat melonjak lebih dari 7% pada hari Jumat sebelumnya. Lonjakan harga dipicu oleh serangkaian serangan udara yang dilancarkan oleh Israel terhadap fasilitas rudal balistik, nuklir, dan pos komando militer Iran.
Namun, meskipun serangan tersebut berlanjut hingga Senin, keinginan Iran untuk meredakan konflik dengan mengupayakan gencatan senjata melalui mediasi beberapa negara Timur Tengah dan Eropa membuat pasar lebih optimis terhadap potensi deeskalasi ketegangan.
Iran Minta Gencatan Senjata, Trump Tanggapi
Pemerintah Iran dikabarkan telah meminta bantuan mediasi dari Qatar, Arab Saudi, Oman, Turki, serta sejumlah negara Eropa, guna menekan Israel untuk segera menghentikan serangan. Sebagai imbalannya, Teheran menawarkan fleksibilitas lebih dalam negosiasi terkait program nuklirnya.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membenarkan adanya sinyal dari Iran untuk mengakhiri konflik. “Mereka ingin berbicara, tetapi mereka seharusnya sudah melakukannya lebih awal. Mereka harus berbicara sekarang, sebelum semuanya terlambat,” ujar Trump pada Senin waktu setempat.
Sikap ini disambut pasar dengan reaksi yang moderat. Meskipun harga minyak sempat menyentuh USD 77,49 per barel saat Israel menargetkan fasilitas gas Iran, harga kemudian turun setelah sinyal gencatan senjata mulai mengemuka.
Potensi Dampak terhadap Pasar Energi
Firma riset Rystad Energy menyatakan bahwa meskipun konflik tetap menjadi risiko, harga minyak tidak mungkin menembus batas psikologis USD 80 per barel dalam waktu dekat. Pemerintahan Trump sendiri dinilai memiliki kepentingan untuk menjaga harga minyak tetap stabil di kisaran USD 50 per barel guna menghindari lonjakan harga energi di dalam negeri.
“Kami melihat konflik ini kemungkinan tidak akan berlangsung lama, karena eskalasi lebih jauh dapat menimbulkan risiko besar yang tak dapat dikendalikan oleh para pihak utama,” jelas Janiv Shah, Wakil Presiden Pasar Komoditas di Rystad.
Namun demikian, peringatan datang dari analis lain. Helima Croft, Kepala Strategi Komoditas Global di RBC Capital Markets, memperingatkan bahwa terlalu dini untuk menganggap konflik akan segera mereda. Menurutnya, indikasi dari Israel menunjukkan kesiapan untuk menghadapi konflik berkepanjangan.
“Jika konflik terus berlanjut, kemungkinan fasilitas energi dan infrastruktur ekspor minyak di kawasan bisa menjadi target selanjutnya,” ujar Croft.
Infrastruktur Energi Jadi Target Serangan
Sejauh ini, serangan masih terbatas pada infrastruktur energi domestik. Media pemerintah Iran melaporkan bahwa pesawat nirawak Israel menyerang ladang gas South Pars di Iran selatan, yang merupakan salah satu ladang gas terbesar di dunia. Dua fasilitas pemrosesan gas dilaporkan terkena dampak, meskipun tingkat kerusakan belum diumumkan secara resmi.
Selain itu, Israel juga menyerang depot minyak di dekat Teheran, sedangkan Iran membalas dengan rudal yang merusak kilang minyak di Haifa, Israel. Keduanya masih belum memberikan detail kerusakan atau dampaknya terhadap pasokan domestik dan ekspor.
Ancaman Penutupan Selat Hormuz
Salah satu perkembangan yang paling mengkhawatirkan adalah pernyataan dari Esmail Kowsari, komandan senior sekaligus anggota parlemen Iran, yang menyebutkan kemungkinan Iran akan menutup Selat Hormuz — jalur vital pengiriman minyak dunia. Sekitar 20% dari total pasokan minyak global melewati selat ini setiap harinya.
Menurut analisis Goldman Sachs, jika selat ini ditutup, harga minyak berpotensi melonjak hingga di atas USD 100 per barel. Namun, tindakan tersebut sangat berisiko mengingat keberadaan Armada Kelima AS di Bahrain yang menjaga stabilitas kawasan.
Baca juga:
Gag Nikel: Tambang Emas Antam di Raja Ampat
“Meskipun sulit secara militer untuk benar-benar menutup selat, Iran dapat mencoba menyerang kapal tanker atau menanam ranjau sebagai bentuk tekanan,” tambah Croft.
Harga minyak dunia saat ini sangat bergantung pada dinamika konflik Iran-Israel dan upaya diplomatik yang sedang berlangsung. Meskipun pasar bereaksi positif terhadap kemungkinan gencatan senjata, ancaman terhadap infrastruktur energi dan rute distribusi minyak masih menjadi sumber ketidakpastian utama. Ke depan, semua mata tertuju pada hasil negosiasi dan bagaimana para pemimpin dunia memainkan perannya dalam menjaga stabilitas geopolitik dan pasar energi global. (nid)