Kanal24, Malang – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah menjadi salah satu upaya strategis untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia. Di tengah tantangan penyediaan protein hewani yang beragam, diversifikasi pangan menjadi fokus utama guna memenuhi kebutuhan nutrisi anak-anak di berbagai wilayah Tanah Air.
Melalui pendekatan yang memanfaatkan potensi lokal, program ini tidak hanya bertujuan mengatasi kekurangan gizi, tetapi juga mendorong keberlanjutan sistem pangan nasional dengan memperhatikan kearifan lokal dan prinsip keamanan pangan.
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB), Prof. Dr. Ir. Muhammad Halim Natsir, S.Pt., MP., IPM., ASEAN Eng., menjelaskan bahwa program MBG merupakan langkah strategis dan manusiawi dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang sehat dan produktif.
“Program MBG ini tidak sekadar tentang makan gratis, tetapi tentang bagaimana kita menyediakan asupan protein hewani yang cukup, aman, dan berkualitas bagi anak-anak Indonesia. Ini menjadi tanggung jawab moral dan keilmuan kami di fakultas peternakan,” ujar Prof. Halim dalam wawancara khusus pada Senin (16/06/2025).
Baca juga:
Juleha Perempuan Fapet UB: Menjaga Halal, Merawat Nilai Keberkahan

Tantangan Penyediaan Protein Hewani
Menurut Prof. Halim, meski saat ini pasokan telur dan daging ayam sudah surplus sekitar 7 persen, tantangan besar masih terdapat pada penyediaan daging merah seperti sapi, kambing, domba, serta produk susu. Fapet UB melihat ini sebagai pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan secara kolaboratif.
“Secara nasional, konsumsi protein hewani masih didominasi oleh unggas. Kami ingin mendorong diversifikasi konsumsi, khususnya dari daging sapi dan susu. Ini penting karena zat gizi dari berbagai sumber protein hewani akan membantu perkembangan kognitif dan fisik anak-anak,” jelasnya.
Lokalitas dan Kearifan Pangan
Prof. Halim juga menegaskan bahwa MBG tidak bersifat seragam, melainkan disesuaikan dengan potensi lokal. “Di Papua, misalnya, sumber protein bisa berasal dari olahan lokal seperti sagu dan ulat sagu. Yang penting adalah produk tersebut memenuhi prinsip ASUH—Aman, Sehat, Utuh, dan Halal,” tegasnya.
Ia mencontohkan bahwa negara-negara Eropa memiliki kualitas fisik dan kecerdasan yang lebih baik bukan karena genetik semata, tetapi karena pola konsumsi protein hewani mereka lebih baik. “Ini menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa membangun manusia unggul dimulai dari kualitas gizi sejak dini,” katanya.
Peran Fapet UB dalam MBG
Sebagai bentuk konkret dukungan terhadap MBG, Fapet UB telah menerjunkan 10 profesor dan 10 doktor dalam pelatihan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Mereka melatih para sarjana untuk menjadi motor penggerak pembangunan peternakan secara berkelanjutan.
“Jangan sampai mereka hanya bisa mengumpulkan produk peternakan. Mereka harus mampu membangun sistem peternakan yang terus berproduksi, dari hulu hingga hilir,” ujar Prof. Halim.
Selain itu, berbagai inovasi yang dikembangkan Fapet UB juga telah disampaikan ke Badan Gizi Nasional. Meskipun belum dapat diimplementasikan secara langsung karena masih perlu kajian lebih lanjut, inovasi-inovasi ini menunjukkan komitmen akademik dalam menyokong program nasional.
Kolaborasi dengan Kementerian
Dalam mendukung pelaksanaan MBG, Fapet UB juga bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kerja sama ini bertujuan untuk memperkuat pelatihan SDM di bidang peternakan yang nantinya akan ditugaskan di berbagai pelosok Tanah Air.
Baca juga:
Koleksi Burung Puter Fapet UB Bertambah
“Intinya kami siap berkolaborasi, baik dengan pemerintah, organisasi profesi seperti ISPI, maupun peternak lokal, untuk memastikan MBG tidak hanya berjalan, tetapi juga berkelanjutan dan berdampak besar bagi masa depan bangsa,” pungkas Prof. Halim.
Dengan dukungan penuh dari dunia akademik seperti Fapet UB, program MBG diharapkan mampu menjawab tantangan gizi anak-anak Indonesia, mengurangi stunting, serta membangun sumber daya manusia unggul yang tangguh dan sehat. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar Indonesia bisa mandiri dalam penyediaan protein hewani, sekaligus memajukan industri peternakan nasional. (nid/pug)