Kanal24, Malang – Kenaikan pajak daerah yang terjadi di berbagai kota dan kabupaten, termasuk Malang, menjadi sorotan publik. Salah satu faktor yang menjadi penyebab utama adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mulai efektif tahun 2024.
Bahrul Ulum Annafi, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, menjelaskan bahwa UU ini menggantikan UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kapasitas fiskal daerah, termasuk mendorong local taxing power atau kemampuan daerah dalam memungut dan mengelola pajaknya sendiri.
“Undang-undang ini menuntut daerah untuk lebih aktif, termasuk dalam hal memutakhirkan data nilai jual objek pajak (NJOP) yang selama ini sudah terlalu lama tidak diperbarui,” ungkapnya.
Baca juga:
Ramai Pajak UMKM, Ini Penjelasan Ahli Hukum Pajak UB
Salah satu contoh nyata adalah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akibat update NJOP. Di Kota Malang, misalnya, NJOP baru diperbarui pada tahun 2023 setelah sekian lama menggunakan data lama. Akibatnya, terjadi lonjakan nilai PBB yang dibayar masyarakat.
“Dulu NJOP banyak pakai data tahun 90-an atau awal 2000-an. Begitu disesuaikan dengan harga pasar tanah saat ini, langsung melonjak. Wajar jika PBB ikut naik drastis,” kata Bahrul.
Namun, ia menekankan bahwa UU Nomor 1/2022 dan turunannya, termasuk PP Nomor 35/2023 dan Perda Kota Malang Nomor 4/2023, sebenarnya telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan keringanan, pembebasan, penghapusan, dan pengangsuran pajak jika mengalami kesulitan membayar.
“Kalau masyarakat merasa tidak mampu bayar pajak karena kondisi tertentu, bisa ajukan permohonan ke Papenda (Pelayanan Pajak Daerah). Regulasi sekarang sudah lengkap. Ini justru kemajuan dibanding masa lalu ketika daerah belum punya payung hukum untuk memberi keringanan,” terangnya.
Contoh lainnya adalah kebijakan stimulus PBB yang pernah diberikan oleh Wali Kota Malang pada tahun 2023. Stimulus ini diberikan setelah NJOP diperbarui dan masyarakat mengeluhkan kenaikan pajak yang signifikan.
Baca juga:
FH UB: Putusan MK Perkuat Independen Pengadilan Pajak
Bahrul menambahkan bahwa salah satu tantangan besar dalam implementasi undang-undang ini adalah kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah. Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa pajak yang mereka bayarkan, seperti pajak listrik, pajak parkir, dan PBB, sebenarnya masuk dalam kategori pajak daerah.
“Literasi pajak kita masih rendah. Padahal masyarakat tiap bulan bayar pajak, tapi tidak sadar. Misalnya, PBJT atas tenaga listrik itu kita bayar setiap kali isi token listrik, tapi orang tidak tahu karena sudah masuk dalam tagihan PLN,” jelasnya.
Ia berharap adanya kolaborasi antara pemerintah, media, akademisi, dan masyarakat untuk mendorong pemahaman pajak daerah secara menyeluruh agar tidak terjadi kesalahpahaman di masa mendatang. (nid/din)