Oleh : Andhyka Muttaqin
Dosen Departemen Administrasi Publik Universitas Brawijaya
Mahkamah Konstitusi kembali membuat keputusan terkait pemilu. Kali ini MK memutus bahwa pelaksanaan pemilu serentak nasional dan lokal seperti yang terjadi pada 2019 dan direncanakan 2024 menyulitkan manajemen pemilu dan menurunkan kualitas demokrasi karena beban administratif dan politik yang terlalu besar. Oleh karena itu, MK mengamanatkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah (pilkada) mulai tahun 2029.
Implikasi Kebijakan dalam Konteks Demokrasi
a. Peningkatan Kualitas Demokrasi Lokal
Dengan pemisahan, isu-isu lokal tidak akan tertutupi oleh isu nasional, sebagaimana sering terjadi dalam pemilu serentak.
Kandidat kepala daerah akan lebih terdorong membahas agenda lokal, bukan menunggangi isu nasional.
Ini dapat menguatkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah dalam sistem demokrasi Indonesia.
b. Meningkatkan Partisipasi dan Rasionalitas Pemilih
Pemisahan pemilu memungkinkan pemilih untuk lebih fokus memahami calon dan program dalam setiap jenis pemilu.
Mengurangi kelelahan pemilih (_voter fatigue_) akibat memilih 5 surat suara dalam satu waktu.
Ini berpotensi meningkatkan partisipasi politik yang lebih rasional dan substantif.
c. Peluang Penguatan Kaderisasi Politik
Partai akan memiliki ruang lebih luas untuk membina kader secara terpisah untuk tingkat nasional dan lokal, tanpa harus mengkalkulasi elektabilitas dalam satu momentum.
Pemisahan juga dapat mengurangi dominasi _coattail effect_ (efek ekor jas) dari pemilu presiden terhadap pilkada.
Implikasi terhadap Tata Kelola Pemerintahan
a. Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan
Saat ini, banyak kepala daerah hasil Pilkada 2024 baru dilantik 2025–2026, yang berarti tidak sinkron dengan masa jabatan presiden 2024–2029.
Dengan pemisahan, ada peluang untuk merancang ulang siklus tata kelola dan pembangunan agar presiden dan kepala daerah bisa lebih sinkron atau setidaknya saling menyesuaikan perencanaan dan RPJMD/RPJMN.
b. Stabilitas Pemerintahan
Beban penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, dan aparat keamanan akan lebih ringan dan fokus. Ini berkontribusi pada stabilitas politik dan administratif.
Mengurangi risiko konflik horizontal akibat tumpang tindih kampanye dan polarisasi ganda nasional-lokal.
c. Efisiensi Administratif dan Anggaran (Namun Bertahap)
Walau dalam jangka pendek pemisahan dua kali pemilu akan menambah beban anggaran, dalam jangka panjang akan membantu membentuk sistem pemilu yang lebih terencana dan profesional.
Perlu desain kebijakan penganggaran baru (APBN & APBD) untuk menyesuaikan pola penyelenggaraan baru ini.
Catatan Kritis dan Tantangan Kebijakan
1. Potensi Kebingungan Transisi
Pemerintah dan KPU harus menyusun roadmap transisi dengan cermat agar publik, partai, dan lembaga penyelenggara memahami tahapan dan logistik baru.
2. Desain Regulasi Turunan
Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada mutlak dilakukan agar sejalan dengan putusan MK. Ini menyangkut jadwal, masa jabatan, dan mekanisme pengisian jabatan antar waktu.
3. Politik Anggaran dan Kepentingan Elit
Ada risiko resistensi dari elit politik pusat maupun daerah yang menikmati manfaat pemilu serentak seperti coattail effect dan efisiensi kampanye.
Rekomendasi Kebijakan
1. Segera bentuk Tim Sinkronisasi Nasional untuk merancang peta jalan pemisahan pemilu 2029 yang melibatkan KPU, Bawaslu, DPR, Kemendagri, dan elemen masyarakat sipil.
2. Evaluasi menyeluruh Pemilu 2024 sebagai bahan dasar perbaikan tata kelola pemilu di masa depan.
3. Perkuat pendidikan pemilih agar masyarakat siap menghadapi perubahan sistem dan mampu menggunakan hak pilih secara lebih rasional.
4. Dorong partai politik untuk adaptif, bukan hanya strategi pemenangan nasional, tetapi juga memperkuat akar di daerah dengan isu-isu sektoral.
Penutup
Putusan MK ini adalah langkah penting menuju demokrasi yang lebih terdesentralisasi dan berdaya substansi, bukan sekadar formalitas elektoral. Namun, keberhasilan implementasinya bergantung pada keseriusan perencanaan kebijakan dan keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam mengawalnya.(*)