KANAL24, Malang – Gemuruh ombak dan aroma asin laut jadi keseharian di Desa Wates, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan. Setiap pagi nelayan berpacu dengan waktu dan tangkapan laut adalah harapan. Sayang, cumi yang melimpah di wilayah ini sering kali hanya berhenti di tengkulak, dijual mentah demi kebutuhan sehari-hari.
Mulyo (34), nelayan di pesisir Wates, mengakui selama ini hasil tangkapannya langsung dijual ke pengepul. “Kalau bisa diolah, mungkin hasilnya lebih baik. Tapi kami terbiasa langsung jual.”
Dia beralasan keputusan menjual cumi-cumi segar langsung ke tengkulak karena terdesak kebutuhan sehari-hari. Pendapatan dari hasil melaut rata-rata berkisar Rp200 ribu itu pun harus disisihkan untuk membeli solar, bekal melaut esok hari.
“Pendapatan tidak tentu. Ya balik lagi, sesuai hasil yang didapat dari melaut,” tuturnya.
Pengakuan Mulyo seolah jadi cermin nasib nelayan di pantai utara Pasuruan. Di balik hasil laut yang melimpah, kehidupan para nelayan di desa pesisir ini belum sepenuhnya sejahtera. Cumi yang mereka tangkap saban hari, langsung dijual dalam keadaan mentah demi uang cepat.
Kondisi nelayan ini mendorong sekelompok mahasiswa dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB) untuk meningkatkan nilai jual hasil tangkapan laut lokal sebagai upaya membangun kemandirian ekonomi masyarakat pesisir.

Komoditas laut cumi jadi fokus utama. Tak ingin potensi ini terus terbuang, lewat program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT), mereka menggagas pelatihan inovatif: membuat sambal cumi bersama ibu-ibu PKK Desa Wates.
“Ini bukan sekadar pelatihan. Ini adalah upaya menumbuhkan ekonomi rumah tangga yang berkelanjutan,” kata Wahida Kartika Sari, dosen pembimbing KKNT dalam penjelasantertulisnya, Selasa (12/8/2025)
Pendampingan dari Dapur hingga Branding
Pelatihan dilakukan di Balai Desa, para ibu diajari memilih cumi segar, membersihkannya secara higienis, hingga meracik sambal yang awet dan lezat. Auliya Nanda Jayanti, mahasiswa UB yang menjadi koordinator kegiatan pelatihan, mengakui tantangannya adalah mengajari para isteri nelayan mengenai standar rasa sambal cumi.
“Menjelaskan soal rasa sambal cumi menjadi penting karena sebagian dari mereka ada yang sama sekali belum tahu soal sambal cumi. Kami sampai perlu menunjukkan contoh video sambal cumi yang viral di media sosial,” tuturnya.
Koordinator KKNT Kelompok 15 Desa Wates Aliif Ghibtah Rayya memaparkan pelatihan yang berlangsung pada 31 Juli lalu tidak hanya mengajarkan cara mengolah cumi menjadi sambal yang lezat dan tahan lama. Mereka juga memperkenalkan aspek pengemasan produk hingga pemasaran digital.
Aliif menjelaskan selain mengajarkan cara memasarkan produk secara langsung ke tetangga atau melalui warung lokal, Kelompok KKNT Kelompok 15 Desa Wates turut mendampingi peserta yang berminat memanfaatkan media sosial. Mahasiswa memperkenalkan berbagai opsi kemasan yang tidak hanya fungsional untuk memperpanjang masa simpan, tetapi juga estetis dan menarik secara visual. Mereka diajarkan pentingnya label produk yang informatif, strategi penentuan harga yang kompetitif, serta tips sederhana untuk promosi.
“Kami berharap ke depan, Desa Wates tidak hanya dikenal sebagai desa nelayan, tetapi juga sebagai desa yang mulai memaksimalkan hasil lautnya melalui inovasi kuliner,” ujar Aliif.
Ketua PKK Desa Wates, Kecamatan Lekok-Kabupaten Pasuruan Fitri Bela Safitri menyambut baik pelatihan yang digagas para mahasiswa. Menurutnya, pelatihan disusun secara komprehensif. Mulai dari teknik memilih cumi segar, membersihkannya secara higienis, hingga tips memasak sambal agar bumbu meresap sempurna. Para ibu PKK pun diajak praktik langsung membuat sambal cumi dan mengemasnya dalam botol kecil.

“Kami baru tahu ternyata kemasan itu penting, begitu juga promosi di media sosial. Ini pengalaman baru yang membuka pikiran,” ujar Fitri Bela Safitri, Ketua PKK Desa Wates.
Pelatihan ini disambut dengan antusiasme tinggi oleh para peserta. Suasana pelatihan penuh semangat, dengan diskusi aktif dan tawa yang mengiringi praktik memasak.
“Rasanya enak, gampang dibuat, dan ini bisa banget jadi usaha rumahan. Kami jadi semangat mencoba di rumah,” ujar salah satu peserta pelatihan
Mengetahui sang isteri ikut pelatihan yang diselenggarakan KKNT Kelompok 15 Desa Wates, Mulyo optimis, meskipun mengakui membutuhkan keberanian untuk mulai membuka usaha sendiri “Kalau istri bisa bikin sambal dan dijual, bisa jadi tambahan penghasilan.”
Melalui kegiatan ini, mahasiswa UB tak hanya mentransfer ilmu, tapi juga menyalakan semangat. Dari laut ke dapur, dari dapur ke harapan. Sambal cumi menjadi simbol kecil dari perubahan besar yang sedang tumbuh di Desa Wates.(sdk)