Kanal24, Malang – Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menilai Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat industri kreatif global, khususnya di sektor mebel dan kerajinan. Namun, peluang itu hanya bisa terwujud jika para pelaku usaha berani melakukan transformasi dan mengubah cara pandang bisnis.
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur menjelaskan, Indonesia sebenarnya memiliki warisan kriya yang melimpah dan potensi ekspor yang besar. Pada 2024, nilai ekspor mebel dan kerajinan nasional tercatat menembus USD 3,5 miliar. Meski demikian, angka tersebut masih jauh tertinggal dibanding Vietnam yang mampu menembus lebih dari USD 17 miliar.
Baca juga:
Pemerintah Siapkan Kenaikan Bertahap Iuran BPJS
“Regulasi, biaya logistik, dan tarif memang jadi hambatan nyata. Tapi yang paling mendasar justru mentalitas pengusaha kita sendiri,” ujar Sobur di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Mentalitas dan Kolaborasi Jadi Kunci
Sobur menyoroti praktik sebagian produsen yang hanya menyalin katalog pembeli atau meniru sesama pengusaha. Pola ini membuat produk Indonesia kehilangan identitas, sehingga pasar internasional hanya melihat Indonesia sebagai pemasok murah, bukan pusat kreativitas.
“Kita sendiri yang memberi ruang buyer menekan harga. Akibatnya, industri hanya hidup dari margin tipis, pekerja tetap bergaji rendah, dan investasi jangka panjang terabaikan,” ungkapnya.
Selain itu, kolaborasi antarpengusaha juga dinilai masih lemah. Menurut Sobur, pengusaha domestik kerap sibuk dengan kepentingan masing-masing sehingga buyer internasional melihat Indonesia sebagai pasar supplier parsial, bukan brand kolektif yang kuat.
Faktor eksternal pun menambah beban, seperti pemberlakuan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang berpotensi menjadi hambatan dagang bagi perusahaan ekspor ke Uni Eropa.
Karena itu, HIMKI mendorong lahirnya mentalitas baru dalam industri, yaitu keberanian untuk berinovasi, memperkuat nilai tambah, menjunjung etika dagang, dan membangun kolaborasi yang solid.
“Kita harus tampil sebagai pusat kreativitas dunia, dengan mebel dan kerajinan yang bukan hanya kuat secara produksi, tetapi juga bernilai, bermakna, dan dihargai,” kata Sobur.
Tantangan Tarif Ekspor Amerika Serikat
Selain soal mentalitas, industri mebel Indonesia juga menghadapi tantangan dari kebijakan perdagangan internasional. Menjelang pemberlakuan tarif baru oleh Amerika Serikat pada 9 Juli 2025, HIMKI bersama KADIN Indonesia mendorong pemerintah memperjuangkan tarif preferensial bagi ekspor produk mebel dan kerajinan nasional.
Baca juga:
OJK Blokir 72 Ribu Rekening Penipuan dari Laporan Masyarakat
Ekspor mebel dan kerajinan Indonesia ke AS saat ini mencapai USD 1,33 miliar atau sekitar 54 persen dari total ekspor sektor tersebut. Industri ini juga menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja langsung maupun tidak langsung.
Menurut Sobur, dukungan kebijakan tarif yang tepat akan menjadi momentum penting untuk menarik investasi global. “Dengan tarif ekspor yang kompetitif, Indonesia bisa menciptakan 5–6 juta lapangan kerja baru dan meningkatkan ekspor mebel-kerajinan menjadi USD 6 miliar dalam lima tahun ke depan,” jelasnya.
Namun, jika tarif ekspor Indonesia lebih tinggi dari negara pesaing seperti Vietnam dan Malaysia, permintaan dari buyer diperkirakan akan turun signifikan. Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan sekaligus mengurangi peluang menjadikan Indonesia sebagai hub produksi dunia. (han)