KANAL24, Malang – Peran aktif dosen Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB dalam forum ilmiah internasional kembali terlihat dalam 5th International Conference on Social and Economic Development (ICSED 2025) yang digelar pada 8–9 September 2025 di Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia. Konferensi ini menjadi ajang pertemuan akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai negara untuk membahas isu-isu penting terkait pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan, dengan mengusung tema besar “Navigating the Blue Economy for Future Generations.” Tema ini mencerminkan pentingnya kolaborasi lintas disiplin dan lintas negara dalam mencari solusi pembangunan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi generasi mendatang.
Partisipasi UB dalam ICSED 2025 berlangsung dalam format kolaborasi penyelenggaran konferensi internasional bersam atau joint conference. Kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi Program Dosen Berkarya 2025, sebuah inisiatif universitas untuk mendorong para dosen agar semakin aktif dalam membangun jejaring akademik internasional, terlibat dalam riset kolaboratif lintas negara, serta menghasilkan publikasi bersama yang mampu memperkuat reputasi UB di tingkat global. Kehadiran UB dalam konferensi ini sekaligus memperkokoh komitmen universitas dalam mengarusutamakan perspektif Global South dalam percakapan global mengenai isu-isu pembangunan.
Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Mempresentasikan Isu Ketimpangan di Global South
Delegasi FEB UB yang hadir di ICSED 2025 terdiri dari empat dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, yaitu David Kaluge, S.E., M.S., M.Ec.Dev., Ph.D, Muhammad Dandy Alif W., S.E., M.Sc.IBF, Aji Purba Trapsila, S.E.I., M.E.I., Ph.D, dan Vietha Devia SS, S.E., M.E., Ph.D. David Kaluge sebagai ketua tim peneliti mempresentasikan hasil riset berjudul “Relational Inequality in the Global South: A Comparative Study of Financial Inclusion, Education, and Globalization.” Penelitian ini merupakan kajian komprehensif mengenai faktor-faktor penentu ketimpangan pendapatan di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sekaligus membandingkannya dengan tren global.
Dalam presentasinya, tim peneliti UB menjelaskan bahwa pendidikan memiliki efek pemerataan yang berbeda-beda antarwilayah. Studi ini menunjukkan bahwa di Asia, pendidikan lebih efektif dalam menekan ketimpangan dibandingkan dengan Afrika dan Amerika Latin. Temuan ini menegaskan bahwa kebijakan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari reformasi struktural yang lebih luas, terutama menyangkut dualisme pasar tenaga kerja, dominasi sektor informal, serta ketimpangan spasial antarwilayah.
“Perlu ada intervensi kebijakan yang lebih kontekstual agar pendidikan benar-benar dapat menjadi instrumen pengurang kesenjangan,” kata David Kaluge.

Selain itu, riset ini juga mengungkapkan bahwa inklusi keuangan baru akan efektif ketika dibangun di atas fondasi kelembagaan yang kuat. Banyak program inklusi keuangan di negara-negara berkembang yang gagal mencapai dampak signifikan karena lemahnya tata kelola dan institusi pendukung. Dalam kasus tertentu, kualitas kelembagaan justru lebih menentukan keberhasilan program dibandingkan sekadar ketersediaan teknologi atau peningkatan literasi digital. Temuan ini memperkaya literatur yang sebelumnya cenderung hanya menekankan pada aspek teknologi dalam inklusi keuangan.
Adapun dalam konteks globalisasi, penelitian ini menunjukkan dampak yang tidak seragam antarwilayah. Di Amerika Latin, misalnya, penanaman modal asing (FDI) justru memperkuat kesenjangan pendapatan, sejalan dengan argumen bahwa investasi cenderung terkonsentrasi pada sektor dan wilayah tertentu. Sebaliknya, efek perdagangan internasional tidak menunjukkan pola konsisten yang berlaku secara universal. Temuan ini menegaskan perlunya desain regulasi yang adaptif dan kontekstual, bukan resep seragam yang diterapkan di semua negara berkembang.
David menjelaskan bahwa kontribusi terbesar penelitian ini adalah penegasan bahwa efektivitas inklusi keuangan dalam menekan ketimpangan akan semakin kuat apabila diiringi dengan peningkatan pendidikan dan kualitas institusi. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi yang parsial cenderung kurang efektif, sementara kebijakan yang mengintegrasikan sektor pendidikan, keuangan, dan kelembagaan dapat menghasilkan dampak pemerataan yang lebih signifikan. Temuan ini sekaligus menjadi kritik terhadap model pembangunan konvensional yang kerap mengabaikan interaksi lintas sektor dalam mengatasi ketimpangan.
Penelitian ini juga menawarkan tiga rekomendasi kebijakan utama. Pertama, perluasan akses pendidikan harus diiringi dengan reformasi struktural yang menyasar pasar tenaga kerja informal dan mengurangi ketimpangan spasial. Kedua, program inklusi keuangan memerlukan “scaffolding” kelembagaan, yakni dukungan institusi yang memastikan distribusi manfaat lebih adil. Ketiga, kebijakan globalisasi harus dirancang secara kontekstual sesuai kondisi masing-masing negara, mengingat dampak distribusionalnya tidak bersifat universal.

ICSED 2025 Bahas Blue Economy untuk Masa Depan
ICSED 2025 sendiri menghadirkan sejumlah keynote speaker internasional yang berasal dari berbagai latar belakang akademik dan negara. Di antaranya adalah Professor Dato’ Dr. Ahamed Kameel Mydin Meera dari Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia; Professor Matthew Tan dari Singapore University of Social Sciences; Dr. Ben Milligan dari University of New South Wales, Australia; serta Prof. Ir. Jatna Supriatna, Ph.D dari Universitas Indonesia. Selain itu, Prof. Tan Sri Dato’ Seri Dr. Noor Azlan Ghazali dari Universiti Kebangsaan Malaysia turut hadir sebagai officiated keynote speaker. Kehadiran para pakar ini memperkaya diskusi konferensi dengan perspektif multidisipliner, mulai dari tata kelola ekonomi biru, kebijakan pembangunan inklusif, hingga isu lingkungan global.
Dengan tema besar “Navigating the Blue Economy for Future Generations,” ICSED 2025 tidak hanya membahas aspek teoretis pembangunan, tetapi juga menekankan solusi praktis untuk mengatasi tantangan ekonomi biru di masa depan. Topik-topik seperti keberlanjutan sumber daya laut, integrasi kebijakan sosial-ekonomi, inovasi teknologi, hingga penguatan tata kelola menjadi bagian penting dari agenda konferensi.
Partisipasi Dosen Ilmu Ekonomi UB dalam konferensi ini mendapat apresiasi positif karena tidak hanya menampilkan riset yang relevan dengan isu global, tetapi juga memperkuat posisi Universitas Brawijaya sebagai universitas riset kelas dunia yang aktif dalam dialog internasional. Dr. David Kaluge menegaskan bahwa keterlibatan dosen UB di ICSED 2025 merupakan bukti keseriusan UB dalam memperluas jejaring internasional. “Ketimpangan bukan semata persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan relasi antaraktor dan institusi. Melalui pendekatan relasional yang kami tawarkan, kebijakan pembangunan dapat dirancang lebih kontekstual dan berkeadilan,” ujarnya.
Joint conference antara UB dan UMT Malaysia di ICSED 2025 menjadi momentum penting dalam memperkuat sinergi kedua universitas. Ke depan, kerja sama ini akan terus ditingkatkan melalui riset bersama, publikasi internasional, serta pertukaran akademik. Dengan begitu, Universitas Brawijaya tidak hanya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga pada perumusan solusi nyata atas tantangan pembangunan yang dihadapi negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Global South.(sdk)