Kanal24, Malang – Di tengah meningkatnya kasus keracunan pada pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), perhatian kini tertuju pada aspek paling krusial dari penyelenggaraan makanan massal: manajemen dapur dan pengendalian mutu pangan. Menurut Ahli Gizi Universitas Brawijaya, Eva Putri Arfiani, S.Gz., M.P.H., seluruh proses mulai dari penerimaan bahan mentah hingga makanan dikonsumsi harus mengikuti standar ketat agar aman dan layak bagi ribuan siswa penerima manfaat.
Standar Penanganan Bahan Mentah dan Matang
Eva menjelaskan, prinsip food handling atau penanganan makanan dalam jumlah besar tidak hanya berlaku pada makanan matang, tetapi sudah dimulai sejak tahap bahan mentah. Setiap vendor atau pemasok diwajibkan memenuhi spesifikasi bahan pangan sesuai standar penyelenggaraan makanan massal.
Baca juga:
OJK Ajak Mahasiswa UB Cerdas Finansial dan Waspada Investasi Bodong

“Misalnya ayam, sejak dikirim dari pemasok harus sudah dalam kondisi bersih dan disertai ice gel selama pengiriman. Itu untuk menjaga suhu bahan agar tetap aman sebelum diolah,” jelasnya kepada Kanal24, Selasa (30/09/2025).
Bahan mentah yang belum diolah, katanya, tetap harus ditangani dengan cermat, apalagi makanan matang yang jauh lebih rentan terkontaminasi. Selama proses pengiriman makanan matang, suhu, kemasan, dan kondisi kendaraan distribusi harus benar-benar diperhatikan. Kemasan tidak boleh terbuka, suhu harus stabil, dan transportasi harus terlindung dari paparan udara luar.
“Kalau bahan mentah saja ada aturannya, apalagi makanan matang. Sedikit saja suhu tidak sesuai atau kemasan terbuka, bakteri bisa tumbuh dengan cepat,” tambah Eva.
Tata Ruang Dapur Wajib Patuhi Jalur Produksi
Lebih lanjut, Eva memaparkan bahwa pengaturan ruang dapur untuk program MBG harus mengikuti prinsip zoning yang ketat. Ruang penerimaan bahan makanan, ruang penyimpanan, ruang produksi, dan ruang distribusi wajib terpisah dan memiliki alur pergerakan yang jelas agar tidak terjadi kontaminasi silang.
“Ruang penerimaan bahan sebaiknya berada di bagian paling luar dapur, dekat area loading dock. Dari situ, bahan diperiksa kesesuaian dan kualitasnya, baru dipindah ke ruang penyimpanan,” ujarnya.
Dalam tahap penerimaan, petugas tidak boleh hanya menghitung jumlah bahan, tetapi juga memeriksa kualitasnya. Misalnya, tomat harus sesuai dengan spesifikasi warna, tingkat kematangan, hingga jenis pengemasannya. Proses ini menjadi bagian penting dari sistem verifikasi bahan makanan sebelum masuk tahap penyimpanan.
Ruang penyimpanan pun harus memisahkan bahan kering dan bahan basah. Ventilasi udara dan suhu harus dikendalikan agar bahan tidak cepat rusak. Jika bahan yang disimpan terlalu banyak atau menumpuk tanpa kontrol suhu yang tepat, potensi tumbuhnya bakteri meningkat pesat.
Sementara itu, ruang produksi harus selalu dalam kondisi bersih sebelum dan sesudah kegiatan memasak. Seluruh pekerja diwajibkan menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti penutup kepala, sarung tangan, celemek, dan alas kaki khusus.
“APD tidak hanya melindungi pekerja dari kecelakaan kerja, tapi juga mencegah makanan terkontaminasi dari rambut, keringat, atau pakaian pekerja,” tegasnya.
Prosedur Tanggap Darurat dan Evaluasi Sistem
Menanggapi pertanyaan mengenai langkah cepat ketika terjadi keracunan di sekolah, Eva menuturkan bahwa pertolongan pertama harus difokuskan pada pencegahan dehidrasi.
“Biasanya gejala awal keracunan adalah mual, muntah, dan pusing. Maka siswa harus segera diberi cairan elektrolit seperti oralit sebelum mendapatkan penanganan medis lanjutan di puskesmas atau rumah sakit,” jelasnya.
Namun, ia menekankan bahwa langkah terbaik tetap pencegahan melalui sistem pengawasan yang konsisten. Apabila kasus keracunan sudah meningkat signifikan, evaluasi menyeluruh terhadap sistem dapur dan distribusi harus segera dilakukan.
Terkait wacana moratorium atau penangguhan sementara program MBG, Eva menilai hal tersebut perlu dikaji berdasarkan tingkat risiko nasional. Jika kasus sudah mencapai ambang 25–30 persen dari total pelaksanaan, maka status darurat pangan layak dipertimbangkan.
“Namun, sambil menunggu kebijakan pusat, penyelenggara MBG di tiap daerah harus segera melakukan evaluasi mandiri. Coba analisis dengan metode Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) untuk menemukan di titik mana bahaya paling mungkin muncul,” ujarnya.
Langkah-langkah korektif bisa dilakukan, misalnya memperpendek waktu tunggu makanan matang sebelum dikirim ke sekolah, atau menambah jumlah tenaga produksi agar proses memasak selesai lebih cepat.
Baca juga:
PKP Internal UB Dorong Ormawa Berprestasi Nasional
Menjaga Kepercayaan Publik terhadap MBG
Eva menegaskan bahwa keselamatan dan kesehatan siswa harus menjadi prioritas utama dalam program MBG. Menurutnya, menjaga kepercayaan publik terhadap program ini tidak cukup dengan gizi yang seimbang, tetapi juga keamanan pangan yang terjamin dari hulu ke hilir.
“Program ini menyentuh jutaan anak sekolah. Kalau pengelolaannya lalai sedikit saja, dampaknya bisa luas. Karena itu, semua pihak—mulai dari penyedia bahan, pengelola dapur, hingga pihak sekolah—harus bertanggung jawab penuh terhadap keamanan makanan,” pungkasnya.
Dengan penerapan sistem pengawasan yang ketat dan disiplin dalam food handling, program Makan Bergizi Gratis diharapkan tetap berjalan efektif tanpa mengorbankan aspek kesehatan para siswa penerimanya. (nid)