Oleh : Prof. Asep Awaludin Prihanto*
Kasus kontaminasi Cesium-137 pada ekspor udang Indonesia bukanlah sekadar insiden cemaran radioaktif saja. Kita tidak sedang membicarakan apakah cemaran tersebut berbahaya bagi Kesehatan atau tidak, meskipun dari data yang beredar angka cemaran tersebut sangat jauh dari ambang batas bahaya bagi manusia. Serta tidak juga sedang membicarakan apakah hal ini ada motif dagang atau tidak. Kasus ini dapat dimaknai sebagai peringatan tentang bagaimana rantai pangan laut kita, dari tambak hingga Pelabuhan, dari pengadaan hingga pemasaran yang tentu saja terhubung dengan ekosistem industri, regulasi, dan kepercayaan global.
Ketika Amerika Serikat menolak seluruh udang dari Indonesia akibat satu kasus kontainer terpapar radiasi, kita menyadari satu hal penting: keunggulan ekspor tidak cukup bila sistem pengawasan kita masih menyisakan celah.
Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu produsen udang terbesar di dunia. Udang bukan hanya komoditas, tetapi simbol kerja keras jutaan pembudidaya. Namun, daya saing itu kini ditantang oleh tuntutan baru: mutu yang dapat diverifikasi secara ilmiah. Dunia tidak lagi menilai dari harga, tetapi dari bukti bahwa setiap produk aman bagi manusia dan lingkungan.
Beberapa hipotesis masih di uji, dari manakah sebenarnya asal dari kontaminasi tersebut, secara umum ada yang beranggapan karena dugaan peti kemasnya, ada juga pada lokasi produksi, selama distribusi dan ada juga dugaan karena bahan baku udang yang didatangkan sebagai bagian dari kekurangan pasokan udang nasional. Bisa jadi semua benar, salah satu benar atau semua memang punya andil. Namun kita coba tinggalkan apa yang sebenarnya menjadi sumber kontaminasi, kita coba fokuskan kepada fakta bahwa cemaran itu ada, dan ada kelemahan pada system hilirisasi udang kita. Sebagai bahan perbaikan maka beberapa hal berikut ini mungkin perlu untuk kita upayakan Bersama,
Budidaya yang Ramah Lingkungan dan Aman Radiasi
Langkah pertama perbaikan adalah kembali ke hulu: menata ulang kawasan logistic udang agar bebas dari potensi kontaminasi eksternal. Kasus Cs-137 mengingatkan kita bahwa bahaya tidak selalu berasal dari tambak, melainkan dari lingkungan sekitar.
Zonasi antara industri berat dan kawasan pengolahan pangan harus memiliki batas aman (buffer zone), dengan pemantauan rutin oleh lembaga berwenang. Keberlanjutan budidaya selain menjaga pasar juga menjaga alam dan secara jangka panjang akan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Logistik dan Ketelusuran Digital
Dalam perdagangan modern, kontainer adalah kartu nama bangsa. Maka, sistem logistik udang Indonesia perlu dimodernisasi menjadi rantai dingin yang tercatat digital secara end-to-end. Setiap tahapan , mulai dari budidaya, panen, pengolahan, pengiriman, dan ekspor yang sebaiknya terekam dalam Seafood Traceability Platform nasional, yang bisa diakses oleh otoritas domestik dan mitra dagang seperti FDA atau Uni Eropa.
Pelabuhan-pelabuhan utama ekspor seperti Tanjung Perak, atau Tanjung Priok dapat dilengkapi dengan radiation portal monitor dan laboratorium pengujian cepat untuk memastikan keamanan sebelum pengapalan. Ini bukan bentuk ketidakpercayaan pada pelaku usaha, tetapi upaya kolektif untuk melindungi reputasi industri dari risiko yang bahkan di luar kendali petambak.
Krisis ini juga membuka ruang bagi transformasi diplomasi dagang. FDA kini menuntut sertifikasi Third-Party Program (TPP) bagi perusahaan yang terdaftar dalam Red List, serta Certificate of Compliance bagi wilayah yang belum terkena sanksi.
Indonesia perlu merespons dengan membangun lembaga sertifikasi nasional yang diakui internasional, melibatkan BRIN, KKP, dan lembaga independen yang kredibel.
Solusi sejati ada pada sinergi. Pemerintah menetapkan standar dan sistem pengawasan, perguruan tinggi memperkuat riset serta edukasi, sementara industri menerapkan praktik terbaik di lapangan.
Jika ketiganya bekerja selaras, Indonesia tidak hanya memulihkan ekspor udang, tetapi juga dapat menempatkan dirinya sebagai negara terpandang dalam seafood safety management yang berbasis sains dan tanggung jawab sosial.
Krisis Cs-137 memang menyisakan luka ekonomi dan reputasi. Namun, di balik setiap krisis ada peluang pembaruan. Bila kita mampu menata ulang sistem budidaya, logistik, dan diplomasi perdagangan dengan semangat keterbukaan dan kolaborasi, maka dari sebuah kontainer yang ditolak, Indonesia bisa memulai babak baru: menjadi negara maritim yang tidak hanya kaya hasil laut, tetapi juga dipercaya dunia karena integritasnya. Namun jika problem utama sebenarnya adalah, strategi politik dan permainan dagang, tentu formula terbaiknya mungkin adalah memulai mencari alternatif pasar baru supaya tidak terlalu tergantung pada negara yang mempermasalahkan Cs-137.(*)
*Penulis Guru Besar dan Dekan FPIK UB