oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Harta yang sesungguhnya milik kita dan akan terus mendampingi kita hingga waktu pertanggungjawaban kelak adalah harta yang telah keluar dari tangan kita untuk orang lain dan kemashlahatan agama ini. Harta kita bukan harta yang sekarang masih ada di tangan kita, bukan pula yang disimpan di bank, bukan pula yang diinvestasikan, semua itu bisa jadi bukan milik kita karena mungkin akan berpindah pada orang lain, kepada keluarga kita sebab kematian kita atau kepada orang lain sebab suatu hal tertentu dalam bisnis.
Sebagaimana dipahami bahwa konsep Islam atas harta menyatakan bahwa harta atau rezeqi adalah pemberian (al atha’u) bukan semata hasil kerja, yaitu pemberian dari Dia Sang Pemilik Kekayaan langit dan bumi, yaitu Allah swt. Dia akan memberikan rezeqi berupa harta kepada siapapun yang Dia kehendaki dan mencabutnya dari siapapun yang Dia kehendaki.
لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا عَمِلُواْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ
(mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas. (QS. An-Nur : 38)
ٱللَّهُ لَطِيفُۢ بِعِبَادِهِۦ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُۖ وَهُوَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡعَزِيزُ
Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia Mahakuat, Mahaperkasa. (QS. Asy-Syura : 19)
Melalui konsep ini, harta adalah pemberian Allah, sehingga siapa saja yang ingin memperoleh harta atau rezeqi maka tentu haruslah mendekat kepada Sang Maha Pemberi Rezeqi (ar rozzaq) melalui usaha taqarrub yang dapat membuatNya senang dan menurunkan kelembutannya kepada kita. Demikian pula seseorang yang telah diberi rezeqi berupa harta oleh Allah swt maka haruslah ia tunduk patuh pada perintah Sang Pemberi Rezeqi dengan suka rela tanpa ada perasaan berat sedikitpun untuk mengeluarkan hartanya di jalan yang telah ditetapkan oleh Allah swt, melalui mekanisme zakat, infaq dan sedeqah. Sebagaimana Firman Allah swt :
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡرٞ كَبِيرٞ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadid : 7).
Melalui Teks Firman Allah swt ini menegaskan bahwa sikap suka rela dalam menafkahkan harta di jalanNya adalah wujud konsekwensi logis dari keimanan kepada Allah dan RasulNya serta menegaskan bahwa dalam setiap harta yang kita miliki ada hak orang lain yang sengaja oleh Allah titipkan melalui kita. Hak itu berupa rezeqi, artinya bahwa di dalam setiap harta kita ada rezeqi orang lain yang harus kita tunaikan pula. Disinilah kita memahami bahwa Islam adalah agama yang sangat peduli pada sosial.
Islam telah menjadikan keimanan sebagai pusat atau sentral dari segala rujukan pikiran dan tindakan. Worldview Islam memahami bahwa inti komunikasi dalam islam adalah berpusat kepada keimanan atau nilai keyakinannya yang terletak pada perpaduan antara hati dan pikiran, antara rasio dan rasa. Sehingga segala tindakan apapun termasuk dalam pengelolaan harta selalu bermuara pada nilai keimanan dan segala tindakan haruslah menjadi wujud dari keimanan seseorang. Sehingga seseorang dengan keimanan yang kuat dan tinggi maka semangat untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah juga tinggi pula, berupa rasa kepeduliaan sosial yang tinggi, gemar berinfaq, sangat dermawan dsb.
Mekanisme membelanjakan harta dengan zakat, infaq dan sedekah adalah cara Allah swt untuk membangun jalinan komunikasi sosial antar ummat manusia. Dengan mekanisme tersebut seseorang melakukan interaksi dengan realitas sosialnya untuk mewujudkan rasa kepedulian dan tanggungjawab sosial sebagai konsekwensi dari nilai keimanan atau keyakinannya. Pola hubungan komunikasi sosial islam dibangun atas dasar keimanan dan realitas yang ingin dicipta dibangun atas dasar kepeduliaan serta rasa kasih sayang serta kehidupan yang tolong menolong, gotong royong, guyub rukun dan saling perhatian antar individu dalam masyarakat. Bahkan dalam banyak hadits nabi disebutkan kepedulian sosial atas masyarakat sekitar adalah wujud dari keimanan. Seperti halnya perintah menghormati tetangga, jika memasak perbanyak kuahnya agar bisa berbagi, bahkan tidaklah dianggap sempurna keimanan seseorang manakala dirinya bisa hidup nyaman dan tidur nyenyak sementara tentangganya berada dalam kelaparan dan sebagainya, kesemua itu merujuk pada satu konsep tentang bagaimana islam mengatur pola komunikasi sosial yang ingin dibentuk, yaitu berupa kepedulian sosial.
Dalam sebuah riwayat disampaikan tentang Rasulullah saat menerangkan kepada mereka bahwa kekayaan yang sesungguhnya adalah apa yang dinafkahkan karena Allah. Dari Abdullah bin Mas’ud mengatakan, bahwa Rasulullah bertanya, ‘Siapa diantara kalian yang memandang kekayaan para ahli waris mereka lebih mereka cintai dari kekayaan mereka sendiri?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tak seorang pun dari kami memandang kekayaan ahli waris mereka lebih mereka cintai dari kekayaan mereka sendiri.’ Rasulullahbersabda, ‘Kekayaan kalian adalah apa yang dinafkahkan untuk kebaikan, dan kekayaan ahli waris kalian adalah apa yang tersisa dan tidak dinafkahkan sebelum kematian.”
Abdullah bin Asy-Syikhir a mengatakan, “Aku menghadap Rasulullah saat beliau sedang membaca ayat:
التكاثر ألهلكم
“Bermegah-megahan telah melalaikanmu” (At-Takásur: 1)
dan beliau bersabda : ‘Anak Adam mengatakan, “Hartaku, hartaku, padahal sesungguhnya Wahai anak Adam, apakah semua hartamu adala milikmu, selain yang kamu makan, kamu kenakan, atau sedekahkan dan terus mendatangkan pahala?’.Redaksi yang serupa diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan penambahan Apa pun selain itu akan meninggalkan pemiliknya dan ditinggalkan untuk orang lain. “
Islam menegaskan bahwa dengan bersedekah pada orang lain atau usaha apapun di jalan Allah swt akan menjadi jalan untuk berkomunikasi dengan masyarakat guna menyampaikan ide Islam bahwa agama ini adalah agama kasih sayang yang peduli dan penuh tanggung jawab sosial. Sebagaimana juga diceritakan dalam sebuah riwayat tentang Rasulullah memuji perbuatan baik mereka untuk memberikan semangat supaya mereka melakukannya lebih banyak lagi.
Dari Abu Hurairah a meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memberikan segala jenis harta karena Allah akan dipanggil di pintu-pintu surga, dan penyeru akan mengatakan, Wahai hamba Allah, ini adalah sesuatu yang baik.’ Jika seseorang berasal dari golongan yang mengerjakan shalat, dia akan dipanggil dari pintu shalat. Jika seseorang termasuk golongan orang-orang yang berjihad, dia akan dipanggil dari pintu Jihad. Jika seseorang termasuk dari golongan orang yang berpuasa, dia akan dipanggil dari pintu yang disebut Ar-Rayyan. Barangsiapa termasuk golongan orang yang suka bersedekah, dia akan dipanggil dari pintu sedekah. Kemudian Abu Bakar berkata, “Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu, Wahai Rasulullah, bisa dimengerti kalau orang dipanggil dari salah satu pintu tadi. Namun, apakah ada orang yang dipanggil dari semua pintu tersebut?”. Rasulullah menjawab, “Ada, dan kamu adalah salah akan dipanggil dari semua pintu.” (HR. Bukhari. No. 1897)
Abu Hurairah s mengatakan, “Rasulullah bertanya, “Siapa di antara kalian yang bangun pagi ini dalam keadaan berpuasa? Abu Bakar menjawab, “Aku.’ Lalu Rasulullah bertanya lagi, Siapa di antara kalian yang hari ini menghadiri pemakaman jenazah?”Abu Bakar menjawab, ‘Aku.’Lalu Rasulullah bertanya lagi, Siapa di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?. Abu Bakar menjawab, ‘Aku.’ Rasulullah bertanya lagi, Siapa di antara kalian yang menjenguk orang sakit hari ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Aku.’ Rasulullah bersabda, ‘Orang yang melakukan semua itu dalam satu hari akan masuk Surga’.” (HR. Muslim. No. 1028)
Abdurrahman bin Samurah mengatakan, “Utsman bin Affan menghadap Rasulullah dengan seribu dirham di dalam pakaiannya ketika Rasulullah sedang menyiapkan Pasukan Jaisyul Usrah “yang hendak diberangkatkan ke Tabuk. Utsman mengeluarkan seluruh uang tersebut di rumah Rasulullah. Rasulullah kemudian mulai menggosok-gosok uang dengan kedua tangan beliau dan bersabda, ‘Apa pun yang dilakukan Utsman setelah hari ini tidak akan merugikan baginya, beliau mengulangi kalimat ini berkali-kali.” (HR. Tirmidzi. No.3701)
Demikianlah islam, menganjurkan agar harta yang dimiliki, sebagai amanah Allah dibelanjakan dan digunakan untuk kegiatan sosial dan membantu orang lain. Dengan cara ini maka komunikasi sosial akan berlangsung dengan baik dalam bingkai memberikan kemanfaatan dan kepedulian sosial. Inilah islam yang agung. Wallahu a’lam.