oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu tujuan komunikasi selain untuk menyampaikan sebuah pesan adalah mempengaruhi orang lain agar bersedia melakukan sesuatu sebagaimana yang diharapkan, yaitu adanya perubahan pada apa yang dimaksudkan. Komunikasi Islam berbasis pada fungsi dakwah yang bertujuan untuk mengajak orang melakukan kebaikan dan mencegah dari perbuatan kemungkaran yang dilarang oleh agama. Karena Islam adalah sekumpulan ajaran yang memberikan arahan dan aturan tentang bagaimana seseorang bersikap dalam hidup dan kehidupan. Komunikasi dalam perspektif Islam adalah berupaya mengajak orang untuk bersedia berjalan diatas arahan Agama dan mentaati aturan yang ada agar nantinya berada dalam realitas kehidupan yang diidealitaskan oleh agama.
Komunikasi amar makruf nahi mungkar tentu bukanlah semata teruntuk bagi orang lain melainkan khithabnya (sasaran ajakan) adalah diri sendiri sebelum mengajak atau mencegah orang lain. Sebagaimana Firman Allah swt:
۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? (QS. Al-Baqarah, Ayat 44)
Bahkan diyakini bahwa keberhasilan suatu perubahan besar dalam sebuah realitas itu bermula dari diri sendiri yaitu sebelum seseorang mengajak orang lain untuk melakukan perubahan bersama maka seseorang melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri (intrapersonal) secara intensif melalui dialog pikiran dan hati sehingga mampu menghasilkan sebuah keyakinan dan motivasi yang utuh, yang dapat menggerakkan perilaku positif secara konsisten (istiqomah) sehingga mampu membekas dalam dirinya dan menjadi contoh bagi orang serta menggerakkan orang lain untuk turut mengikuti jalan dari apa yang telah dilaluinya sebagai jejak yang membekas dalam realitas.
Kekuatan pesan dalam komunikasi akan memberikan dampak perubahan yang kuat (powerfull) manakala diri seseorang telah menjadi pioner dan orang pertama yang melakukannya sehingga memiliki pengalaman yang cukup serta telah mengalaminya sendiri dan merasakan pahit getir pengalaman atas ajakan perubahan kebaikan serta mampu melakukan evaluasi mandiri (self evaluation) sebelum merekomendasikannya pada orang lain. Bahkan termasuk dalam kalangan katsir kalam (over disclosure), banyak bicara dan sombong manakala seseorang mengajak orang lain pada suatu kebaikan sementara dirinya belum pernah mengalaminya sendiri. Hal ini amatlah dimurka oleh Allah swt atas perilaku tersebut. Sebagaimana FirmanNya :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ . كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaf, Ayat 2-3)
Kebencian Allah atas suatu tindakan adalah larangan atas tindakan tersebut. Allah swt melarang seseorang pandai dalam berwacana atau berbicara (verbal communication) namun tidak pandai dalam tindakan komunikasi yang nyata. Mengajak orang pada kebaikan tidaklah sehebat pengaruhnya dibandingkan dengan pengalaman yang telah diwujudkannya sendiri. Berbicara melalui tindakan dan pengalaman akan jauh powerfull dan meaningfull (penuh makna) dalam mengajak orang lain untuk melakukan sebuah perubahan dibandingkan hanya sebuah kata tanpa makna. Benarlah sebuah ungkapan menyatakan, ” Action speak loader than word”.
Kekuatan pesan komunikasi terletak pada keteladanan sikap, yaitu pengalaman pribadi sebelum mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu. Sebab seseorang tidaklah melihat apa yang diucapkannya melainkan apa yang telah diperbuatnya. Tindakan sebelum kata-kata. Rasulullah saw adalah manusia yang akhlaqnya adalah akhlaq alquran. Beliau memberikan keteladanan sikap sebelum mengajak orang lain untuk melakukannya.
Perhatikan dengan baik keteladanan Rasulullah saw yang sangat indah. Disaat Rasulullah memerintahkan untuk beribadah, maka beliau orang pertama yang mengerjakannya dengan penuh keteladanan. Coba perhatikan apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Aisyah tentang teladan nabi dalam ibadah. Aisyah berkata, “Rasulullah saw biasa berdiri untuk shalat di malam hari hingga kedua kakinya membengkak”. (HR. Bukhari. No. 4837).
Ubaid bin Umair (seorang tabi’in) bertanya kepada Aisyah ,”Tolong ceritakan kepada kami kisah paling menakjubkan yang pernah engkau lihat dari
Rasulullah ” Aisyah we terdiam, lalu berkata, “Suatu malam, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Aisyah, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini.’ Aku
berkata, ‘Demi Allah, aku ingin berada di dekatmu, dan aku juga suka engkau beribadah kepada Allah.’ Rasulullah lantas bangkit, kemudian bersuci, lalu
shalat dan menangis. Setelah itu, datanglah Bilal ae mengumandangkan azan. Melihat Rasulullah menangis, Bilal as bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis? Bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?’ Beliau bersabda, ‘Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Malam ini telah diturunkan kepadaku satu ayat, sungguh celaka
yang tidak membaca dan memikirkan kandungannya:
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (QS. Ali ‘Imran, Ayat 190)
Demikian pula keteladanan Rasulullah dalam rendah Hati. Disaat Allah swt memerintahkan Nabi-Nya untuk bersikap rendah hati sebagaimana dalam FirmanNya,
وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu. (QS. Asy-Syu’ara, Ayat 215)
Maka Rasulullah adalah orang pertama yang bersikap rendah hati, lembut, dan baik hati kepada orang-orang miskin maupun kaya yang beriman. Beliau sangat rendah hati sehingga beliau biasa menyapa anak-anak saat mereka berjalan melewati beliau. Saking rendah hatinya beliau , seorang budak perempuan kecil sering menarik tangan Nabi dan Nabi mengikuti ke mana pun dia mau. Rasulullah akan memperbaiki sandal dengan tangannya sendiri, menambal bajunya”, memerah susu dombanya”, duduk (bersosialisasi) dengan orang- orang miskin'”, dan beliau biasa berjalan dengan anak-anak yatim, janda”, dan menerima undangan dari siapa pun yang mengundangnya”. Rasulullah suka menjenguk orang yang sakit, mendatangi pemakaman, serta menerima undangan sekalipun dari seorang hamba sahaya.
Demikian pula dalam urusan kedermawanan, Rasulullah adalah teladan yang tiada duanya.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan, terutama pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemuinya. Jibril
mendatanginya setiap malam di bulan Ramadhan, dimana Jibril mengajarkan Al-Qur’an. Sungguh Rasulullah jauh lebih dermawan daripada angin yang berhembus.” Jabir bin Abdullah a berkata, “Rasulullah tidak pernah ketika diminta sesuatu, kemudian beliau menjawab, “Tidak’.” Anas bin Malik as berkata, “Pernah datang seseorang kepada Rasulullah dan meminta kepada beliau. Maka, beliau memberinya kambing yang berada di antara dua bukit. Maka setelah orang itu kembali kepada kaumnya ia mengajak kaumnya dan berkata, ‘Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian, karena Muhammad memberi seperti orang yang sama sekali tidak takut miskin’.” (HR. Muslim. No. 3312)
Ibda’ binafsika, mulailah dari diri sendiri. Itulah kata yang tepat untuk melakukan komunikasi persuasi pada orang lain guna memulai sebuah perubahan. Karena perubahan bukanlah ditentukan oleh kekuatan kata melainkan oleh kekuatan tindakan. Dengan tindakan yang terus diistiqomahi walaupun sepele maka hal itu akan membuat sebuah bekas (atsar) yang nantinya menjadi panduan bagi orang lain untuk mengikuti jejak yang sudah terbentuk. Sebuah perubahan akan mudah dilalui manakala telah ada jejak awal sebagai peletak dasar, daripada harus memulainya dari awal sama sekali, terlebih jika niat perubahan itu hanya berasal dari sekadar sebuah wacana tanpa aksi.
Konsep Ibda’ binafsika menghadirkan pengalaman dan kompetensi personal yang memungkinkan seseorang dianggap kredibel (terpercaya), sehingga layak untuk diikuti setiap apapun pesan yang disampaikannya. Kepercayaan atas sosok penyampai pesan sebab faktor kredibilitas ini yang menjadikan nabi layak untuk dipercayakan setiap apapun yang disampaikannya dalam menyampaikan wahyu dan dijadikan teladan dari setiap sikap perilakunya. Inilah kebanggan yang dimiliki oleh masyarakat Arab atas sosok Rasululullah yang bergelar al Amiin (sangat jujur sehingga sangat dipercaya) yaitu berkesesuaian antara ucapan dan tindakan. Faktor al amanah dan uswah dalam menyampaikan pesan membuat seseorang layak untuk dijadikan rujukan dan mendorong sebuah perubahan menjadi suatu keniscayaan. Karena kedua faktor tersebut adalah penentu kekuatan sebuah pesan. Sebab hanya pesan yang kuat sajalah yang mampu mendorong terciptanya sebuah realitas. Inilah kiranya yang disebut dengan ethos komunikator menurut Aristoteles itu.