oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi profetik menekankan pentingnya adab dalam berkomunikasi. Karena adab adalah hal paling utama dalam interaksi kemanusiaan, bahkan adab telah menjadi misi utama dari tujuannya diturunkannya risalah kenabian (Prophet Muhammad). Bahkan ditegaskan bahwa komunikasi seseorang berhubungan dengan persoalan keimanan. Kualitas komunikasi seseorang menunjukkan nilai kualitas keimanan seseorang. Konsepsi profetik memahami bahwa keimanan adalah sesuatu yang sentral dalam kehidupan seseorang. Keimanan itu terefleksi dalam ucapan dan tindakan, realitas komunikasi individu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” (QS.Al-Ahzab : 70-71)
Ayat diatas diawali dengan kalimat nida’ atau panggilan kepada orang yang beriman (يا ايها الذين امنوا) sebelum Allah menyampaikan pesannya, yaitu pesan tentang perintah untuk berkata yang benar (قولا شديدا). Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa berkomunikasi sebenarnya berhubungan dengan persoalan keimanan. Hal ini ditegaskan pula dalam sabda Nabi (Prophet) Muhammad yaitu :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR.Bukhari no. 6018, Muslim no. 47)
Artinya komunikasi dalam perspektif profetik tidaklah semata kemampuan menyusun pesan dan menyampaikannya melainkan setiap pesan dan tindakan komunikasi yang ditampilkan mencerminkan nilai keimanan yang ada dalam diri komunikator. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa setiap tindakan berpotensi komunikasi yang menjelaskan secara utuh atas apa yang ada dalam diri dan konstruksi pikirannya yang dibentuk oleh keyakinan, pemahaman, maklumat sabiqah (informasi terdahulu), pengalaman, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Persoalan utama dalam komunikasi antar manusia bukanlah pada ketidakmampuan seseorang dalam berkomunikasi namun melainkan ketiadaan adab dalam berkomunikasi. Betapa banyak orang pandai berkomunikasi, memiliki ilmu yang tinggi, gelar yang banyak namun minim adab, sedikit rasa hormat pada orang lain dan menganggap dirinya merasa paling hebat sehingga tidak peduli pada perasaan orang lain saat berinteraksi, berkomunikasi tidak menghidupkan hati, sehingga cuek dan berbicara asal bunyi tanpa memperhatikan apa dampak dari pesan yang diproduksi terhadap orang lain. Hal demikian diperingatkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya :
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ سَمِعَ أَبَا النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ يَعْني ابْنَ دِينَارٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Munir dia mendengar Abu An Nadlr telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdullah yaitu Ibnu Dinar dari Ayahnya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridhai Allah, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang dibenci oleh Allah, suatu kalimat yang ia tidak meperdulikannya, namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka.” (HR. Bukhari. no. 5597)
Nilai-nilai adab dalam berkomunikasi berfungsi untuk membingkai keterampilan komunikasi seseorang agar lebih bermakna dan dapat diterima oleh orang lain (partisipan komunikasi) sehingga dapat terjalin realitas komunikasi yang mutual. Adab adalah norma atau aturan sopan santun berdasarkan aturan agama berarti suatu aturan interaksi kemanusiaan yang diinginkan oleh Tuhan Sang Pencipta terhadap manusia agar proses interaksi berjalan dengan baik sehingga bernilai kebaikan.
Salah satu adab aturan dalam berkomunikasi antar manusia adalah melarang manusia untuk memotong pembicaraan orang lain sementara orang lain belum selesai menyampaikan pendapatnya. Rasulullah memberikan contoh untuk mendengarkan setiap perbincangan hingga si pembicara menyelesaikan pembicaraannya bahkan Rasulullah tidak menanggapi orang yang memotong perbincangan sebagai sebuah pelajaran atasnya agar tidak memotong perbincangan. Sebagaimana disampaikan diriwayatkan dari Abu Hurairah as bahwa, “Ketika sedang berbicara kepada orang-orang, ada seorang laki-laki Badui datang dan bertanya, Kapan Hari Kiamat tiba? Rasulullah terus berbicara, sehingga sebagian orang mengatakan, Beliau mendengar apa yang ditanyakan tetapi beliau tidak menyukainya. Sebagian yang lain mengatakan, ‘Beliau memang tidak mendengar.’ Ketika sudah selesaiberbicara, beliau bertanya, ‘Di mana tadi orang yang bertanya tentang Hari Kiamat?’ Orang itu menjawab, ‘Aku, Wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, “Ketika kepercayaan telah hilang, tunggulah Hari Kiamat.’ Orang itu bertanya, “Bagaimana hilangnya kepercayaan itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Jika urusan diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya, tunggulah Hari Kiamat.” (HR. Bukhari)
Kebiasaan memotong pembicaraan adalah tanda rendahnya adab sekaligus menjelaskan bahwa diri seseorang kurang memiliki rasa penghormatan pada orang lain. Sementara seseorang yang tidak menghormat orang lain tentu juga tidak akan dihormat oleh orang lain. Interaksi antar manusia adalah realitas timbal balik sehingga disaat seseorang tidak memberi penghormatan berarti dirinya bersedia juga tidak dihormati oleh orang lain. Karena itu, janganlah suka memotong pembicaraan orang lain sementara mereka belum selesai dalam mengatakan sesuatu. Rasulullah menegaskan hal ini dalam sabdanya :
إذا قلتَ للناسِ أَنصِتوا و هم يتكلَّمون ، فقد ألْغَيْتَ على نفسِك
“Jika engkau mengatakan ‘diamlah!’ kepada orang-orang ketika mereka tengah berbicara, sungguh engkau mencela dirimu sendiri” (HR. Ahmad).
Seringkali pula fenomena memotong perbincangan terjadi disaat seseorang sedang berdebat atau berkomunikasi penuh emosi sehingga ada keinginan kuat untuk menyampaikan pendapatnya sebab dorongan hawa hafsu untuk didengarkan atas apa yang dipikirkannya serta bisikan syetan untuk tidak menghargai pendapat orang lain dan tidak mempedulikannya. Karena memang demikian maksud syetan yaitu untuk menciptakan perselisihan diantara manusia melalui interaksi antar mereka.
ﻋَﻦ ﺃَﺑِﻲ ﺃُﻣَﺎﻣَﺔ ﻗَﺎﻟَﻘَﺎﻝ ﺭَﺳُﻮﻝ اﻟﻠَّﻪ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪ ﻭَﺳَﻠَّﻢ ﺃَﻧَﺎ ﺯَﻋِﻴﻢ ﺑِﺒَﻴْﺖ ﻓِﻲ ﺭَﺑَﺾ اﻟْﺠَﻨَّﺔ ﻟِﻤَﻦ ﺗَﺮَﻙ اﻟْﻤِﺮَاء ﻭَﺇِﻥ ﻛَﺎﻥ ﻣُﺤِﻘًّﺎ ﻭَﺑِﺒَﻴْﺖ ﻓِﻲ ﻭَﺳَﻄ اﻟْﺠَﻨَّﺔ ﻟِﻤَﻦ ﺗَﺮَﻙ اﻟْﻜَﺬِﺏ ﻭَﺇِﻥ ﻛَﺎﻥ ﻣَﺎﺯِﺣًﺎ ﻭَﺑِﺒَﻴْﺖ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻠَﻰ اﻟْﺠَﻨَّﺔ ﻟِﻤَﻦ ﺣَﺴَّﻦ ﺧُﻠُﻘَﻪ
“Aku menjamin sebuah istana di sekitar surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan walaupun dia dalam keadaan benar. Dan dipertengahan surga bagi seorang yang meninggalkan kedustaan walau dalam bercanda dan di bagian surga tertinggi bagi yang terpuji akhlaknya.” (HR. Abu Dawud, dalam sunannya, no 4167)
Benarlah sabda nabi bahwa cara terbaik dalam berkomunikasi adalah menahan diri dan diam dengan cara banyak mendengar atas apa yang disampaikan oleh orang lain agar dapat mengetahui lebih banyak atas apa yang diinginkan dan dipikirkan oleh orang lain. Dengan diam dan mendengar akan memudahkan seseorang untuk dapat mencuri perhatian dan simpati orang lain sehingga memudahkan mempengaruhi orang lain untuk kemudian dapat tunduk mendukung apa yang kita harapkan. Kesediaan diam tidak akan dapat terwujud manakala tidak disertai dengan keimanan. Sehingga nabi mengingatkan bahwa diam untuk kebaikan, diam apabila tidak bisa bicara baik adalah sebagian tanda dari keimanan, sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas. Intinya, jika seseorang tidak bisa berbicara yang baik maka lebih baik diam lalu jadilah pendengar yang baik, tentu itu lebih mulia. Al imam Hasan Al-Bashri berkata,
إذا جالست فكن على أن تسمع أحرص منك على أن تقول , و تعلم حسن الاستماع كما تتعلم حسن القول , و لا تقطع على أحد حديثه
“Apabila engkau sedang duduk berbicara dengan orang lain, hendaknya engkau bersemangat mendengar melebihi semangat engkau berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain.”
Memotong pembicaraan adalah tanda ketergesa-gesaan untuk menyampaikan pendapat. Sementara tergesa-gesa adalah tanda perilaku syaetan. Sebagaimana sabda Nabi :
التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (HR. Abu Ya’la dan Baihaqi)
Abbas, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois,
إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة
“Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 586)
Komunikasi antar manusia membutuhkan kesabaran untuk saling mendengarkan, saling menghargai, saling mendahukukan kepentingan orang lain, saling berkasih sayang dengan sesama muslim. Sikap-sikap ini akan menjadikan hati semakin dekat dan bisa saling memahami. Perasaan saling memahami inilah yang menjadi dasar dari bangunan realitas sosial yang baik sehingga diantara mereka dapat saling tolong menolong (ta’awun) dalam kebaikan dan dalam ketaqwaan. Inilah realitas masyarakat sosial madani profetik yang diharapkan. Bismillah semoga terwujud. Aamiiin…
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB