oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Kegiatan melayani adalah aktifitas utama dalam kepemimpinan Islam. Dalam sejarah, amanah kepemimpinan sejatinya bukanlah kekuasaan melainkan sebagai pelayan yaitu seseorang yang berkhidmah kepada masyarakat yang di pimpinnya. Sebagaimana dikatakan :
سيد القوم خادمهم وساقيهم آخرهم شربا
pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka, dan yang memberikan air kepada suatu kaum adalah yang paling terakhir minum.
Artinya sifat yang harusnya dimiliki oleh penguasa ataupun siapa saja yang mengurusi persoalan ummat adalah jiwa melayani bukan dilayani. Sehingga istilah yang dipakai untuk seorang pemimpin ummat adalah khadimul ummah (pelayan ummah) atau amiirul mukminin (seseorang yang mengurus urusan kaum mukminin). Sebagaimana yang gelar yang disematkan kepada raja Saudi saat ini yaitu khadimul haromain, pelayanan dua tanah haram, yang bertugas melayani ummat manusia yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk memenuhi panggilan sebagai “tamu Allah”,
atau pula sebagaimana yang disematkan kepada para sahabat Nabi dalam memimpin ummat pada masa itu seperti terhadap sayyidina Umar ra dengan sebutan amiirul mukminin sebab beliau sangat tegas dan disiplin dalam memberikan pelayanan terbaik bagi ummat pada saat itu.
Para pemimpin kaum muslimin saat itu menegaskan gelar pada dirinya sebagai pelayan ummah (khadimul ummah) yang bertugas untuk melayani ummat dan memenuhi kebutuhan mereka (ummat). Sehingga jiwa pelayanan menjadi modal utama yang harus ada dalam diri seorang pemimpin ummat yang apabila jiwa pelayanan ini hilang maka hilang pulalah kemuliaan dirinya sebagai bagian dari pada ummat. Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi :
عن أبي مريمَ الأَزدِيِّ رضي اللَّه عنه ، أَنه قَالَ لمعَاوِيةَ رضي اللَّه عنه : سَمِعتُ رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقول : من ولاَّهُ اللَّه شَيئاً مِن أُمورِ المُسلِمينَ فَاحَتجَبَ دُونَ حَاجتهِمِ وخَلَّتِهم وفَقرِهم ، احتَجَب اللَّه دُونَ حَاجَتِه وخَلَّتِهِ وفَقرِهِ يومَ القِيامةِ » فَجعَل مُعَاوِيةُ رجُلا على حَوَائجِ الناسِ . رواه أبو داودَ ،
“Barangsiapa diserahi urusan manusia lalu menghindar melayani kamu yang lemah dan mereka yang memerlukan bantuan, maka kelak di hari kiamat, Allah tidak akan mengindahkannya.” (HR. Abu Dawud).
Artinya bahwa para pengelola urusan ummat atau penguasa muslim harus memiliki jiwa pelayanan yaitu sebuah kesediaan untuk mencurahkan segala pikiran, tenaga dan waktu yang dimilikinya untuk memenuhi segala kebutuhan ummat. Sehingga tidaklah pantas bagi pemimpin ummat bersifat adigang adigung adiguna atau berlaku sombong karena kekuasaan dalam perspektif profetik bukanlah untuk gagah-gagahan, berlaku sombong dan minta dilayani, sebab hal itu bukanlah fitrah pemimpin ummat. Mereka yang diberi amanah kepemimpinan harus bersedia “dlosor”, merendah dan tawadhu di hadapan ummat. Sebagaimana kisah sayyidina Umar yang dia harus memanggul sendiri harta yang diambilnya dari baitul maal kerajaan saat melihat sendiri penderitaan yang dialami oleh rakyatnya dan tidak bersedia dibantu oleh para pengawalnya dengan argumen bahwa hal ini adalah tanggungjawabnya yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt.
Jadi, konsep khadimul ummah (pelayan ummat) adalah kesediaan diri yang harusnya hadir dalam diri para penguasa atau pejabat negara dan seluruh aparatur negara yaitu bertugas sekaligus memiliki tanggungjawab utama untuk melayani masyarakat (public service). Berdasarkan hadits diatas menegaskan bahwa seorang pelayan publik haruslah memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi atas tugas pelayanannya, bertindak cepat dan tepat dalam memenuhi kebutuhan publik (responsiveness, reliable), serta menjauhkan diri dari sikap cuek, kasar, atau bahkan minta dilayani (bentuk sikapnya adalah ingin selalu dihormati dan disiapkan segala kebutuhannya, terlebih saat berkunjung di tengah-tengah masyarakat). Seorang pelayan publik adalah bersedia mendengar setiap keluhan dan kebutuhan publik lalu menjadikannya komitmen dalam standar pelayanan minimal (SPM) yang harus diberikan kepada publik agar semua kebutuhan publik dapat terpenuhi dan menjadikan mereka puas atas layanan yabg diberikan, karena memang hakikat kekuasaan dalam perspektif profetik adalah untuk melayani, bukan minta dilayani.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB