oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Konsespsi loyalitas dalam perspektif profetik yaitu disebut dengan al wala’, merupakan bagian integral dari sebuah keyakinan. Artinya loyalitas adalah wujud implementatif dari keyakinan seseorang. Loyalitas secara integral hadir bersamaan dengan keyakinan atau keimanan yang diproklamirkan seseorang. Tidaklah disebut memiliki keimanan atau keyakinan manakala tidak memiliki loyalitas. Kebalikan dari loyalitas adalah khianat atas keyakinan. Disaat seseorang telah menyatakan diri yakin atau percaya atas sesuatu maka pada saat itu keyakinannya harus dibuktikan, dan pembuktiannya melalui serangkaian ujian untuk menunjukkan loyalitas. Sebagaimana di firmankan oleh Allah swt :
أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تُتۡرَكُواْ وَلَمَّا يَعۡلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ مِنكُمۡ وَلَمۡ يَتَّخِذُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَا رَسُولِهِۦ وَلَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَلِيجَةٗۚ وَٱللَّهُ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. At-Taubah, Ayat 16).
Ujian keyakinan membutuhkan pengujian serius berupa pengorbanan jiwa raga sebagai bentuk loyalitas atas apa yang diyakininya. Tercatatlah dalam sebuah riwayat bahwa Sa’d bin Mu’adz, seorang kepala kabilah, adalah salah seorang santri Rasulullah Saw. Setelah mendengar kata-kata Mus’ab bin Umair, yang menyebabkan pernyataan keislaman kaumnya, ia berkata, “Aku telah mendengar kata-kata Mus’ ab. Aku dapati bahwa ia adalah kebaikan seluruhnya dan kemaslahatan bagi urusan hidup kita. Karenanya, aku menyatakan keislamanku, demi Allah, Tuhan semesta alam. Aku bersaksi tentang kenabian Muhammad bin Abdullah. Semua lelaki dan perempuan kalian haram bagiku, hingga kalian memeluk Islam.” Ia bangkit menghimpun kaum Muslimin di hari ketika Rasulullah Saw. memobilisasi jihad dalam peperangan pertama kalinya, Perang Badr. Ia berkata kepada Rasulullah Saw. untuk menyatakan loyalitasnya yang dalam kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu, kami membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa apa yang datang kepadamu adalah benar adanya. Kami memberikan janji setia kami. Karena itu, pergilah wahai Rasulullah, ke mana saja engkau suka, maka kami akan senantiasa bersamamu. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, jika saja engkau mengajak kami untuk mengarungi samudra ini dengan menyelaminya, niscaya kami akan menyelam bersamamu. Tidak seorang pun dari kami yang tertinggal. Kami sekali-kali tidak keberatan jika engkau pertemukan kami dengan musuh-musuh kami. Kami semua tabah di medan perang. Kami semua tulus ketika bertempur. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu sesuatu yang menenteramkan jiwamu pada diri kami. Pergilah bersama kami atas berkah dari Allah.”
Demikianlah loyalitas dari sebuah keyakinan dan pola hubungan. Loyalitas adalah puncak dari setiap pola hubungan. Pertanyaanya adalah apa yang membuat para sahabat yang baru beriman dapat langsung memiliki loyalitas yang tinggi kepada Rasulullah? . Hal terpenting yang menjadi alasan adalah karena kredibilitas Rasulullah yang sangat tinggi yaitu keterpercayaan atas diri Rasulullah saw yang tidak diragukan lagi sebab kejujuran dan keindahan perilaku Rasulullah yang membuat orang bersedia menyerahkan diri sepenuhnya. Setiap orang merasa terpuaskan disaat berinteraksi dengan Rasulullah karena dampak dari komunikasi Beliau yang membuat setiap orang merasa berharga dan termuliakan.
Dalam kontekstualisasi bidang komunikasi pelayanan publik maka salah satu cara membuat loyalitas bagi para pelanggan adalah bermula dari cara komunikasi, interaksi dan pola hubungan yang dijalin selama ini dengan publik. Mereka harus merasakan suasana nyaman dan terpuaskan dengan komunikasi dan interaksi yang dilakukan selama ini.
Ciri komunikasi yang mampu memuaskan adalah manakala mampu memenuhi setiap sifat dasar manusia yang ingin selalu diperhatikan, suka pada orang yang ramah, senang dipuji dan dihargai. Artinya kualitas komunikasi sangat menentukan terhadap kepuasan layanan hingga melahirkan loyalitas tinggi bagi publik layanan. Semua ini tentu perlu diupayakan untuk mewujudkan realitas komunikasi layanan terbaik. Sebab loyalitas tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa adanya kualitas komunikasi yang memuaskan.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB