oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Pendekatan teologis Islam atas bencana telah meletakkan sebuah pemahaman bahwa bencana bukanlah sekedar peristiwa alam semata melainkan bahwa setiap bencana yang terjadi adalah akibat perbuatan manusia. Alam dipahami sebagai makhluk yang selalu tunduk, taat dan bertasbih kepada Allah swt Sang Pencipta. Bencana adalah bentuk penolakan alam atas perbuatan ketidaktaatan, ketidakpatuhan, kedhaliman dan kemungkaran yang dilakukan oleh manusia yang hidup diatasnya.
Pandangan teologis yang demikian mengarahkan suatu cara sikap yang berbeda tentunya dalam merespon dan penanganan bencana dengan mereka yang hanya memahami bahwa bencana adalah suatu peristiwa alam semata. Bagi kalangan rasionalis empirik maka respon terhadap bencana tentu dengan cara yang rasional empirik pula seperti menganalisa sebab-sebab alamiah dan respon-respon empirik tanggap bencana ataupun pendekatan solusi teknologis lainnya. Namun dalam pendekatan teologis, respon atas bencana tidaklah semata dilakukan dengan cara rasional empirik namun lebih bersifat substansial atas penyebab bencana, yaitu dengan tindakan-tindakan yang dianggap dapat meredam munculnya bencana. Antara lain, pertama dengan bertaubat atas segala kesalahan dan dosa yang diperbuat. Taubat nasional adalah solusi untuk meredam bencana. Sebagaimana di Firmankan oleh Allah swt :
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ
Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan. (QS Al-Anfal, Ayat 33)
Ibnu Abbas mengatakan sebagaimana ditulis dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa yang menyelamatkan seseorang dari adzab Allah swt adalah adanya diri Nabi Muhammad ditengah-tengah mereka (kaum musyrikin Makkah saat itu) dan ampunan mereka. Setelah Nabi saw tiada, maka yang tertinggal hanyalah permohonan ampun (istighfar). Hal demikian sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallahu alaihi wasallam :
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْر، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُهَاجِرٍ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ يُوسُفَ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَنْزَلَ اللَّهُ عليَّ أَمَانَيْنِ لِأُمَّتِي: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ فَإِذَا مَضَيْتُ، تركتُ فِيهِمُ الِاسْتِغْفَارَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ”
telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki-, tefah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Ismail ibnu Ibrahim ibnu Muhajir, dari Abbad ibnu Yusuf, dari Abu Burdah ibnu Abu Musa, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Allah menurunkan dua keamanan bagi umatku,” yaitu disebutkan dalam firman-Nya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun. (Al-Anfal: 33) Selanjutnya Nabi Saw. bersabda, “Apabila aku telah tiada, maka aku tinggalkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah) di kalangan mereka sampai hari kiamat.” (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan informasi sumber wahyu yang merupakan dasar pijak teologis ini maka disebutkan bahwa yang bisa menyelamatkan seseorang dari suatu bencana termasuk wabah penyakit seperti pandemi covid-19 ini adalah pertaubatan dan istighfar dari kalangan ummat manusia. Taubat adalah deklarasi kesadaran atas kesalahan dengan niat tidak mengulangi kembali dosa. Sementara istighfar adalah pernyatan permohonan ampun seorang hamba yang merupakan bentuk kerendahan hati dan permintaan maaf atas segala dosa kesalahan yang diperbuat.
Seseorang yang meminta ampun (beristighfar) dengan bersungguh-sungguh adalah cara dalam meredam murka Allah dan menghentikan bencana yang terjadi. Demikian janji Allah swt sebab hanya Allah sajalah yang memiliki kuasa menurunkan bencana dan mengangkatnya atau mencabutnya. Hal ini juga ditegaskan dalam sabda Nabi saw :
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ: وَعَزَّتِكَ يَا رَبِّ، لَا أَبْرَحُ أغْوِي عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ. فَقَالَ الرَّبُّ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي”.
Sesungguhnya setan berkata, “Demi keagungan-Mu, wahai Tuhanku, aku senantiasa akan menyesatkan hamba-hamba-Mu selagi roh masih berada di kandung badan mereka.- Maka Tuhan berfirman -Demi Keagungan dan Kemuliaan-Ku Aku Senantiasa -memberikan ampun kepada mereka selama mereka memohon ampun kepada-Ku.” (HR. Ahmad)
Demikian pula disebutkan dalam hadits Nabi saw yang mulia berikut :
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا رِشْدِين -هُوَ ابْنُ سَعْدٍ -حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ سَعْدٍ التُّجيبي، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ فَضَالة بْنِ عُبَيد، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “الْعَبْدُ آمِنٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مَا استغفر الله، عز وجل”
telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Umar, telah menceritakan pula kepada kami Rasyid (yaitu Ibnu Sa’d), telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah ibnu Sa’d At-Tajibi, dari seseorang yang menceritakannya kepada dia, dari Fudalah ibnu Ubaid, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Seorang hamba dalam keadaan aman dari azab Allah selagi ia masih memohon ampun kepada Allah Swt. (HR. Ahmad)
Hadist diatas memberikan informasi akan adanya jaminan keamanan dari Allah bahwa seseorang yang beristighfar pada Allah swt dengan meminta ampun yang sungguh-sungguh penuh kesadaran serta permintaan yang benar maka akan diberi perlindungan dari bencana. Hal ini memberikan sebuah informasi penting bahwa salah satu cara menyelamatkan diri dari wabah covid-19 yang sedang mewabah adalah dengan cara memperbanyak taubat dan istighfar kepada Allah swt . Untuk itu menjadi suatu keniscayaan bahkan kewajiban bagi pemerintah apabila ingin negerinya terbebas dari wabah pandemik covid-19 adalah dengan mengajak seluruh penduduk negeri melakukan pertaubatan akbar dan istighfar nasional meminta ampun kepada Allah dengan sungguh-sungguh seraya menyadari segala kesalahan dan tidak lagi mengulangi dosa atas penyimpangan dan kedhaliman baik yang dilakukan oleh diri individu warga bangsa ataupun yang dilakukan secara berjamaah. Karena istighfar dan pertaubatan adalah jalan solusi spiritual untuk menjauhkan dari bencana. Sebab tidak ada satupun peristiwa termasuk bencana kecuali semua itu berada dalam genggaman kehendak Sang Penguasa Kehidupan, Allah subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB