“Poverty is not an accident. Like a slavery and apartheid, it is man-made and can be removed by the actions of human beings.” Kalimat bernas ini punya gema yang nyaring meski sudah amat lama dinukilkan oleh Nelson Mandela. Politik Apartheid bukan cuma menghancurkan kedaulatan bangsa, tapi juga melenyapkan kemanusiaan. Warga kulit hitam Afsel dianggap tak punya nilai sehingga bisa dinista dengan segala rupa dan cara. Seluruh sumber daya hayat diputus sehingga kehidupan mereka pupus. Jadi, kemelaratan tak jatuh dari langit. Kemiskinan bergoyang dari rumput kering yang disapu angin di halaman rumah penduduk.
Hati Mandela terpuruk, ia lunglai menatap kepedihan yang tak terperikan. Dia lawan sistem yang menindas. Diskriminasi mesti dihentikan. Kehormatan wajib ditegakkan. Tiap bangsa punya harga dan masing-masing orang tidak bisa dihina. Sepanjang hidupnya diabdikan untuk membangun kesetaraan warga. Tak boleh nasib manusia dikotori berdasarkan ras, suku, atau agama. Warna kulit bukan pembeda kemanusiaan, ia pemersatu keberagaman. Ia tahbiskan pikiran dan hatinya untuk membungkam kesewenangan. Mandela mendekam 27 tahun di penjara sebagai ganjaran atas perjuangan.
Islam menaruh berlaksa kepedulian soal kemelaratan. Kaum muslimin pasti pernah mendengar sabda masyhur Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Na’im: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.” Islam menempatkan kufur sebagai dosa yang tak terampuni, sehingga pertempuran melawan kemelaratan merupakan perang yang harus dimenangkan. Kemiskinan spiritual diselesaikan dengan iman. Kefakiran material dituntaskan dengan kebijakan. Di sinilah Islam meletakkan keadilan sebagai tiang keputusan. Nabi Muhammad SAW menyeru imam atau pemimpin yang adil sebagai satu dari tujuh kelompok yang memperoleh lindungan Allah di hari kiamat.
Pada titik inilah berimpit antara keyakinan Islam dengan pikiran Mandela masa silam. Kemelaratan adalah produk kebijakan yang ganjil. Itu semua ciptaan manusia (struktur tak adil yang membatu di bumi), bukan takdir Sang Maha Cinta. Pemimpin terpilih adalah imam yang wajib menyebarkan keberkahan. Kebijakan (publik) menjadi mekanisme kebajikan. Kata kuncinya: kebijakan yang adil, bukan karitas yang subtil. Persis seperti hujjah Mandela: “Overcoming poverty is not a gesture of charity. It is an act of justice. It is the protection of fundamental human right, the right to dignity and a decent life. While poverty persists, there is no true freedom.”
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB