Oleh : Novi Susanto,
Menilik data Badan Pusat Statistik pada periode maret 2020 bahwa persentase kemiskinan sebesar 9,78 persen mengalami peningkatan 0,56 persen poin dibandingkan pada periode yang sama pada tahun 2019. Sedangkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 adalah sebesar 26,42 juta orang, mengalami peningkatan 1,28 juta orang dibandingkan pada bulan Maret tahun 2019. Profil berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan sebesar 11,16 juta orang, sedangkan di daerah perdesaan sebesar 15,26 juta orang. Kondisi tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin tersebut akan berbeda cerita untuk kondisi saat ini dengan merebaknya pandemic covid yang secara formal menyerang kehidupan masyarakat dan negara sejak pertengahan bulan maret yang lalu, berdasarkan kebijakan pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 terkait Pembatasan Sosial dalam Skala Besar. Menteri Perencanaan Pembangungan Nasional/Kepala Bappenas menyampaikan setidaknya akan terjadi penambahan jumlah penduduk miskin hingga 4 juta orang dan diproyeksikan total penduduk miskin akan berkisar menjadi 28,7 orang.
Memang tidak bisa dipungkiri masih banyak penduduk menggantungkan kehidupannya pada wilayah perkotaan dengan ditunjukkan dominasi peningkatan penduduk perkotaan setiap tahun. Hasil rekaman Worldometers pada tahun 2019 menjelaskan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa atau 55,8% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 270,6 juta jiwa. Ada kemungkinan dominasi tersebut akan bergeser ke wilayah perdesaan mengingat dampak pandemic masih berkepanjangan dirasakan dan dampaknya hingga 2-3 tahun kedepan. Indikasi semakin jelas terlihat. permasalahan akan mengumpul dan berputar didesa dengan meningkatnya jumlah pengangguran hingga 3,7 Juta orang (angka perhitungan Bappenas juli 2020), belum lagi penambahan dari para pekerja informal yang tidak terdata dan mayoritas akan kembali ke desa karena hilangnya matapencaharian di kota, serta eksodus pekerja migran dari negara-negara penampung Tenaga Kerja Indonesia signifikan menambahkan kerentanan semakin melekat di desa.
Ada banyak upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengurangi permasalahan yang melekat di wilayah perdesaan tersebut, baik oleh Pemerintah dengan berbagai skema paket kebijakan maupun non pemerintah dengan tanggung jawab sosialnya. Berbagai pendekatan tersebut lazim dilakukan dengan menggelontorkan sumberdaya material dan non material yang terkadang tidak terukur sampai kapan batas penyelesaian menangani permasalahan yang muncul tersebut. Belum lagi pendekatan yang sifatnya keproyekan kurang mempertimbangkan pembangunan sistem secara berkelanjutan dan mengkonsolidasikan para pihak untuk terlibat aktif membantu menangani permasalahan di desa secara berkolaborasi.
Menyelesaikan masalah dengan insentif
Salah satu sektor yang sedang berkembang kuat dan menjadi potensi untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan di Indonesia adalah social entreprises (kewirausahaan sosial) atau yang kita kenal dengan para pelaku bisnis sosial. Setidaknya diperkirakan terdapat 342.025 pelaku usaha sosial yang memenuhi kriteria berdasarkan laporan penelitian British Council dan UN ESCAP Tahun 2018 perihal membangun ekonomi kreatif yang inklusif kondisi kewirausahaan sosial di Indonesia. Mereka bergerak dari dari sumberdaya lokal, dengan menggunakan model bisnis bekerja dengan komunitas, serta banyak beroperasi di luar wilayah perkotaan dan memperluas jangkauan pembangunan ekonomi ke wilayah pedesaan.
Meski profil wirausaha sosial beragam, beberapa kencenderungan yang jelas memberikan nilai khusus yang ditawarkan usaha sosial kepada negeri ini antara lain:
• Banyak wirausaha sosial bekerja untuk mengenalkan nilai-nilai inklusif dan mengatasi ketidaksetaraan, khususnya melalui model berbasis masyarakat dan memberikan peluang bagi perempuan.
• Usaha sosial banyak bekerja di luar kota besar, dengan menciptakan peluang kerja di seluruh Indonesia dan berusaha mengatasi kesenjangan kekayaan yang signifikan di Indonesia.
• Mayoritas motor penggerak wirausaha sosial adalah kalangan muda dengan menunjukkan komitmen kuat untuk menyelesaikan masalah sosial di komunitas wilayah perdesaan.
• Sektor bidang yang dominan dikerjakan wirausaha sosial adalah industri kreatif, pertanian dan perikanan, dan pendidikan.
Selain itu, semua mengakui bahwa usaha sosial banyak dikepalai oleh perempuan dan pemuda dibanding dengan usaha konvensional, dan penerima manfaat utamanya adalah masyarakat lokal (61%), perempuan (48%), dan kaum muda (44%) berdasarkan laporan penelitian british council dan UN Escap tahun 2018. Penciptaan lapangan kerja produktif berdampak juga terhadap pengangguran dari adanya wirausahawan sosial di Indonesia.
Dibalik kisah sukses pengakuan bagi wirausaha sosial, ternyata masih meninggalkan berbagai kendala yang dihadapi dalam mengembangkan usahanya sama sebagaimana yang dihadapi oleh UMKM mulai dari : (1) keterbatasan permodalan, (2) kesulitan mendapatkan pendanaan atau hibah, (3) pengetahuan dan skill manajerial yang kurang, (4) sumberdaya manusia, dan (5) rendahnya kapasitas Produksi. Didalam konteks kemudahan berbisnis, wirausaha sosial juga mengalami hal yang sama seperti bisnis UMKM selain proses pendaftaran usaha membutuhkan 11 langkah dan memakan waktu 25 hari bahkan lebih, dihadapkan juga masih banyaknya keterbatasan pemahaman dari pelaku tentang benefit yang didapatkan ditengah proses registrasi legalitas yang kompleks dan memakan waktu dan biaya.
Dukungan Ekosistem bagi Bisnis Sosial
Kemudian bagaimana mendorong dukungan ekosistem agar bekerja bagi wirasausaha sosial diwilayah perdesaan. Secara ideal ekosistem perusahaan sosial mencakup sejumlah institusi pendukung seperti investor dan pemodal yang berkonsentrasi terhadap dampak, organisasi pendukung dalam hal bisnis, pemangku kebijakan, dan lembaga pendidikan tinggi. Namun unsur tersebut tidak selalu harus ada dan disediakan oleh salah satu pihak saja, karena yang paling utama pada era saat ini adalah kolaborasi dan sinergi berbagai pihak dan sumberdaya untuk mewujudkan visi bersama.
Salah satu upaya mendorong ekosistem bekerja diwilayah perdesan sebagai contohnya adalah upaya yang didorong oleh Gubernur Jawa Barat melalui pogram patriot desa. Program patriot desa bertujuan mengajak para millenial muda untuk berkeringat ditempatkan di desa-desa menjadi CEO menyokong program One Village One Company (OVOC) serta merintis Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berbasis potensi desa. Sejatinya program patriot merupakan inkubator bisnis bagi anak muda pelaku wirausaha sosial untuk mengembangkan desa sekaligus menyelesaikan permasalahan yang muncul dengan mengoptimalkan potensi desa. Dengan mengajak berbagai pihak baik swasta seperti BUMN, offtakers dan perguruan tinggi Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersinergi menanggulangi desa-desa miskin dan tertinggal agar berubah berbenah diri.
Upaya lainnya dalam mendukung ekosistem wirausaha sosial dari sisi pemangku kebijakan adalah peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2021. Kebijakan tersebut menggarisbawahi bagaimana pemanfaatan dana desa agar sejalan dengan pilar pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dengan prioritas penggunaan pertama adalah pemulihan ekonomi nasional sesuai dengan kewenangan desa. Dengan mengkonsolidasikan berbagai praktek baik yang sudah berjalan serta dukungan kebijakan yang efektif harapannya akan semakin kondusif mendukung ekosistem bagi pengembangan bisnis sosial terlembaga di wilayah perdesaan.(*)
Novi Susanto, Alumni FIA UB dan Market Linkages Manager pada Program Kemitraan Indonesia Australia (KOMPAK)