KANAL24, Malang – Pengertian radikalisme yang baku perlu menjadi fokus para pemangku kebijakan. Diungkapkan oleh Rachmat Priyantono, S.Sos., M.Si., Ph.D pada Refleksi Akhir Tahun 2019 “Indonesia dalam Ancaman Radikalisme” di FISIP UB (30/12/2019).
Menurutnya, radikalisme dianggap memiliki keterkaitan dengan kemaslahatan bersama. Memang terdapat kesepakatan yang dilakukan oleh beberapa Lembaga pemerintahan seperti antara BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Kemkominfo, Kemenag, dan Kemkopolhukam yang menyebutkan beberapa definisi radikal seperti kelompok masyarakat yang disebut radikal adalah mereka yang ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Selanjutnya, kelompok radikal adalah kelompok yang suka mengkafir-kafirkan orang lain. Kedua pendefinisian tersebut dianggap masih bersifat umum, tetapi ada dua definisi lagi yang lebih condong mengkritisi agama islam, yakni kelompok radikal adalah mereka yang mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS, serta memaknai jihad secara terbatas.
“Perlu dirumuskan kembali kalau memang ini menjadi masalah yang memenuhi hajat hidup bersama, saya kira ini tugas DPR juga untuk menginisiasi munculnya UU definisi radikalisme yang kokoh,”
Lanjutnya, bisa jadi di UU terorisme sudah ada pengertiannya tetapi perlu ada definisi yang tidak menjurus kepada kelompok atau agama tertentu. Karena jika dilihat pendorong radikalisme itu banyak faktor, namun faktor-faktor ini dibungkus oleh SARA sehingga memunculkan paham atau tindakan tersebut.
Saat ini, pendefinisian radikalisme yang dianggap netral adalah definisi dari KBBI. Di dalam KBBI diterangkan bahwa Radikalisme adalah paham atau aliran yang mempunyai keyakinan menginginkan perubahan atau pembaruan sosial politik dengan cara kekerasan atau drastis atau sikap ekstrim dalam aliran politik.
Namun, menurut pakar komunikasi FISIP UB tersebut perlu peraturan yang jelas yang mendefinisikan secara baku apa itu radikalisme.(meg)