Memotret sebuah peristiwa kehidupan tidaklah cukup hanya dengan menggunakan alat bantu rasionalitas, namun butuh alat lain yang tidak hanya bersifat indrawi, itulah rasa. Karena banyak peristiwa realitas hidup yang berada diluar nalar rasional manusia. Hal yang paling dekat dengan kita adalah tentang rasa itu sendiri, manis, pahit, asam dan sebagainya. Manusia hanya bisa menunjukkan letak dalam organ di mulut kita yang merespon rasa manis, pahit dan lain lain itu. Namun manusia tidak mampu menunjukkan bentuk dan wujud dari rasa pahit dan manis itu. Demikian pula yang kita sebut dengan sedih, bahagia, semangat, cemburu, dengki, cinta, benci dan sebagainya. Manusia hanya mampu menjelaskan sebagian bentuknya saja yang mewakili sebagian kecil dari perasaan tersebut. Sementara wujud sebagian kecil tindakan sesuatu tidaklah mewakili keseluruhan dari apa yang disebut dengan suatu perasaan tertentu itu. Sebagai misal perasaan cinta. Maka tidak ada satupun tindakan dan perilaku manusia yang dapat menunjukkan secara utuh apa bentuk perilaku yang disebut cinta. Sementara seseorang hanya mampu memberikan penciri sebagiannya saja, yang bisa saja tidak meewakili secara keseluruhan atas apa yang disebut cinta. Apakah banyak tersenyum, hati berdebar-debar, sering menyebut nama, penuh perhatian dan sebagainya adalah mampu menjelaskan secara utuh apa yang disebut dengan cinta itu sendiri? . Demikian pula dengan apa yang disebut dengan sedih. Apakah menangis, gelisah, diam, menunduk adalah mampu menjelaskan tentang apa yang kita sebut dengan perasaan sedih secara utuh ?. Tidak ! Semua hal itu adalah sebagian kecil tanda dari sebuah perasaan tertentu. Itulah kesulitannya dalam mendeskripsikan sebuah perasaan. Sehingga perasaan sulit untuk dijelaskan secara matematis objektif rasional. Ternyata banyak dalam hidup kita yang sulit dideskripsikan secara rasional bahkan hidup kita sejatinya dipenuhi oleh hal yang bersifat bukan rasional, intuitif, naluri, dan rasa.
Manusia sejatinya adalah makhluk yang memiliki rasa. Hal ini karena manusia memiliki hati sebagai tempat bersemayamnya perasaan. Rasa bahkan menjadi inti dari kemanusiaan. Jika manusia telah kehilangan rasa maka hilanglah nilai terpenting dari diri kemanusiaannya. Ibarat seseorang yang sudah tidak bisa lagi membedakan rasa manis, pahit dan asam, atau semua jenis buah, makanan dan minuman telah kehilangan rasa dan hanya ada satu rasa baginya yaitu tanpa rasa maka ketahuilah bahwa diri seseorang itu telah mati rasa, yang artinya seseorang sedang sakit.
Manakala seseorang telah kehilangan rasa kemanusiaannya, sudah tidak lagi ada rasa kepedulian, kasih sayang, cinta, benci dan sebagainya maka sejatinya dirinya telah mengalami ketiadaan jiwa, hidupnya gersang, jiwanya sakit dan mati. Maka tubuh fisik telah jauh dari jiwa yang hidup. Tubuh tanpa jiwa adalah mayat yang menakutkan. Demikianlah manusia yang hidup hanya dengan rasionalitasnya dan membuang jauh nilai rasa pada dirinya.
Dalam menjalani hidup, merespon berbagai peristiwa dan memaknai setiap kejadian tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan rasionalitas saja namun perlu menghadirkan hati (sebagai tempat bersemayamnya perasaan). Dalam menuntut ilmu tentu perlu lebih mengedepankan hati daripada sekedar rasio (akal pikiran). Karena ilmu adalah cahaya, ilmu adalah nilai (value), ilmu bukan hanya sekedar sekumpulan informasi fakta realitas. Namun ilmu memberikan dasar fondasi bertindak melalui informasi realitas yang diberi sentuhan nilai sehingga menjadi bermakna (valueable).
Menjalani proses keilmuan melalui kegiatan belajar mengajar (taklim muta’allim) yang disana ada berbagai pola hubungan interaksi. Yaitu interaksi pembelajar dengan ilmu, guru, teman, lembaga (sekolah atau pondok), masyarakat dan terlebih dengan Allah swt. Berbagai pola interaksi itu tidak berada dalam ranah rasionalitas melainkan lebih banyak pada emosionalitas atau lebih tepatnya adalah hati (perasaan) dan spiritualitas.
Berpadunya antara fitrah rasa kemanusiaan, fitrah ilmu dan interaksi pola hubungan tersebut, dalam dunia sufi disebut dengan Dzauq. Yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya. Dalam mendalami suatu ilmu pada seorang guru, baik dalam proses memahami ilmu ataupun menjalani pola hubungannya maka tentu tidak cukup mengandalkan akal rasionalitas, sebab jika demikian maka guru hanya akan dipandang sebagai fasilotator ilmu belaka sama halnya dengan media teknologi virtual yang ada sekarang sebatas medium untuk menyampaikan ilmu. Sementara guru tidak hanya transfer ilmu belaka namun lebih dari itu, yaitu memastikan bahwa ilmu yang dipelajari oleh murid dapat benar-benar dipahami, di praktekkan dan disebarkan serta menjadi asas tindakan perilaku keseharian sehingga menjadi adab dan akhlaq mulia seorang pembelajar . Hal ini tentu tidak bisa dilakukan oleh media modern yang ada. Karena itu jika seseorang menjadi guru hanya sebatas trasnfer pengetahuan maka akan ada masa dimana para guru tak lagi dibutuhkan karena google lebih cerdas dan lebih tahu banyak hal daripada seorang guru. Namun jika seseorang guru mentransferkan adab maka tentu akan dibutuhkan selamanya karena google tidak memiliku semua itu. Demikian pula bagi seorang pembelajar dalam berinteraksi jika menperlakukan ilmu dan guru seperti halnya terhadap google maka ilmu hanya sebatas tulisan tanpa makna dan guru hanya akan dianggap selayaknya mesin dan robot cerdas. Itulah interaksi tanpa dzauq, tanpa rasa. Pada realitas seperti ini maka hilanglah keberkahan ilmu, yaitu ilmu yang tanpa bekas sama sekali dalam diri pembelajar. Benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi
ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ
“Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak. (HR. Muslim)
Dilenyapkannya ilmu berarti keberkahan atas ilmu hilang tanpa bekas karena para pembelajar telah kehilangan akhlaq dan tidak ada lagi panutan akhlaq (ulama) sebab tidak memperlakukan ilmu dan guru dengan sebagaimana mestinya. Para pembelajar tidak lagi memiliki dzauq (rasa) karena disaat dirinya (pembelajar) dalam berinteraksi dengan ilmu dan guru tidak lagi menggunakan akhlaq, dan mereka (pembelajar) cenderung lebih menggunakan rasionalitasnya saat berinteraksi dalam proses belajar mengajar. Sehingga tidak ada lagi penghormatan, pengabdian, khidmad, loyalitas terhadap guru dan sebagainya. Para pembelajar yang tidak menghadirkan dzauq dalam belajar, mereka tidak lagi menganggap guru sebagai orang tua yang membimbing dan mengarahkan, mereka lebih menganggap guru sebagai teman sebaya atau bahkan sebatas transaksional belaka.
Bagi para penikmat dzauq dalam belajar, ilmu adalah sesuatu yang menyilaukan mata sehingga menggelapkan dan menghilangkan pandangan lainnya bagi para ahlinya. Orang yang telah menikmati lezatnya ilmu akan menghilangkan segala rasa. Demikian pula, disaat seseorang telah merasakan dzauq dalam hubungannya dengan guru, maka rasa hubungan tidak semata transaksional. Guru adalah orang tua bahkan melebihi dari orang tua. Karena dengan guru seseorang mengenal Tuhannya. Pantaslah abuya sayyid muhammad bin alawi al maliki menyatakan, “ما زلت طالبا”، selamanya saya adalah santri / murid. Sebagai ibarat, seorang anak akan tetap berstatus anak dan bersikap selayaknya seorang anak dihadapan seorang tua sekalipun sang anak juga telah menjadi orang tua. Demikian pula seorang santri, murid maka selamanya dia sebagai seorang santri atau murid di hadapan sang guru selamanya.
Demikianlah seorang pembelajar dengan dzauq akan memperlakukan guru dengan penuh penghormatan yang tinggi dan mulia, memberikan loyalitas tiada duanya, khidmad dengan sepenuh hati, bahkan seandainya seorang guru memerintahkan untuk loncat ke dalam lautan pun maka murid (sang pembelajar) akan menurutinya, demikian tamtsil seseorang yang telah mencapai kondisi dzauq tinggi. Sebab orang yang telah larut dalam level dzauq yang tinggi maka mereka tidak akan lagi dapat mengungkapnya melalui kata-kata, sebagaimana ungkapan, “جرب تعرف”، Orang-orang yang merasakannya pasti tahu. Dan mereka yang belum merasakannya pasti belum tahu”. Inilah cita rasa dzauq.
Semoga Allah swt menganugerahkan kenikmatan rasa pada diri kita dalam melalui jalan ilmu. Semoga Allah meridhoi langkah kita. Aamiin..
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar