oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Setiap orang telah diberikan suatu potensi dasar kecerdasan dalam dirinya sebagai modal utama dalam menjalani kehidupan. Potensi itu berupa akal pikiran yang dengannya seseorang dapat berpikir dan menentukan nilai kualitas sesuatu, kedua adalah potensi hati yang dengannya seseorang dapat memilih kebaikan dan keburukan serta potensi hawa nafsu yang dengannya seseorang memiliki dorongan semangat untuk melakukan sesuatu. Ketiga potensi dasar ini menjadi seperti alat pendetekdi dini bagi manusia dalam melakukan sesuatu, yaitu apakah hal tersebut baik bagi dirinya atau tidak, bermanfaat atau tidak, benar atau tidak, sehingga tindakan yang diambil oleh seseorang menjadi berkualitas sebab didasarkan atas argumentasi pertimbangan yang matang berdasarkan pada ketiga potensi tersebut. Sehingga apabila terdapat seseorang yang melakukan suatu tindakan tanpa dasar pertimbangan tersebut maka hal itu dianggap sebagai suatu kebodohan. Sebab manakala seseorang merasa tidak memiliki suatu pengetahuan tertentu maka potensi akal pikirannya akan memberikan alarm pada dirinya atas ketidaktahuannya itu berupa adanya suatu naluri atau keinginan untuk mengetahui sesuatu lebih banyak dan lebih dalam lagi. Perasaan “ingin mengetahui” yang ada dalam diri seseorang adalah alarm dari potensi akal pikirannya disaat seseorang memiliki sedikit informasi atas sesuatu. Membiarkan ketidaktahuan atas sesuatu kemudian menjadikannya sebagai landasan bersikap dan kemudian bersikap ikut-ikutan tanpa dasar ilmu merupakan sebuah kebodohan yang nyata, itulah yang disebut dengan istilah Taqlid.
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung, sebagaimana dijelaskan dalam Lisanul Arab 3/367). Sementara secara istilah taqlid adalah taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya atau mengikuti sesuatu tindakan yang tidak didasarkan atas suatu hujjah atau mengikuti sesuatu tanpa landasan, tidak ada alasan dan argumentasinya (norok buntek: Madura; pupuk bawang: Jawa). Disebutkan bahwa taqlid adalah :
الأْخْذُ فِيهِ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عَدَمِ مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
Mengambil pendapat dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Sikap taqlid ini secara nyata dilarang dalam perspektif profetik. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu berikut :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’, Ayat 36)
Fenomena taqlid ini biasanya diwujudkan dalam bentuk mengikuti pikiran, ucapan, sikap dan tindakan orang lain secara berlebihan hingga pada taraf membenar-membenarkan sesuatu yang salah bahkan menolak sesuatu yang nyata kebenarannya atau menolak sesuatu yang berbeda dengan dirinya sekalipun orang lain yang berbeda memiliki dalil argumentasi. Semua ini mereka lakukan disebabkan keterbatasan dan ketiadaan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” (HR. Tirmidzi).
Sikap seseorang yang mengikuti apapun saja yang diucapkan atau dilakukan orang lain tanpa reserve kemudian menolak setiap pemikiran dan sikap yang berbeda dengan dirinya serta menutup diri untuk menerima kebenaran yang ada pada orang lain, maka hal itu adalah suatu bentuk kebodohan yang disebabkan sikap taqlid buta. Sehingga orang yang demikian disifati oleh Allah dengan FirmanNya :
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” (QS.Al-Anfal ayat 22).
Perspektif profetik melarang seseorang mengikuti sesuatu yang dirinya tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, artinya seseorang wajib belajar dan mendalami sesuatu dengan baik sehingga tindakan sikap yang diambil berdasarkan pada pertimbangan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk menyatakan bahwa dirinya tidak tahu alasan apapun dalam melakukan sesuatu. Sebab pada dirinya ada potensi untuk mengetahui sesuatu dengan cara belajar dan bertanya. Karena itulah dijelaskan dalam teks ayat selanjutnya bahwa pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. Hal ini seakan Allah swt ingin mengatakan, “jika kamu tidak mengetahui sesuatu, kami bisa mempergunakan pendengaran dan penglihatan serta hati untuk mengetahui” yaitu melalui belajar. Artinya pendekatan profetik sangat menekankan agar seseorang terus belajar sehingga memiliki ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan landasan dalam bersikap. Untuk itu pendengaran, penglihatan dan hati akan diminta pertanggungjawaban.
Tindakan ikut-ikutan atau taqlid buta jelas suatu tindakan sikap yang dilarang karena mendasarkan pada suatu sikap yang tidak didasarkan pada suatu argumentasi bahkan cenderung mengikuti hawa nafsu. Bentuk tindakan taqlid buta ini seperti mengikuti suatu pikiran dan tindakan secara membabi buta dan serampangan tanpa mnngetahui dasar argumentasi dalilnya dan si pelaku secara sadar tidak bersedia untuk mengetahui dasar argumentasinya serta bahkan cenderung hanya mendasarkan pada sosok personal, bukan dalil atau hujjah. Sehingga kalimat yang seringkali di dengar dari mereka adalah kata “pokoknya”. Sikap taqlid ini secara personal akan melahirkan sikap kultuisme yaitu mengkultuskan seseorang secara membabi buta. Kemudian pada tataran tindakan sosial sikap ini akan merubah wujud menjadi ashobiyah atau fanatik buta yang dalam bentuknya adalah membela mati-matian suatu pemikiran dan tindakan sekalipun apa yang dibela adalah sebuah kesalahan. Hal demikian disebutkan dalam teks sumber wahyu :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡـٔٗا وَلَا يَهۡتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah, Ayat 170)
Sementara tindakan komunikasi imitatif (imitative behaviour) yang diperbolehkan adalah Ittiba’ yaitu meniru suatu ucapan atau tindakan berdasarkan pada ilmu atau menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan dengan berdasarkan atas dasar pengetahuab. Dengan kata lain, pilihan sadar seseorang dalam mengikuti sikap dan tindakan orang lain yang dirinya juga (berusaha) mengetahui dasar argumentasi (dalil atau hujjah) atas tindakan tersebut. Artinya mengikuti sikap tindakan orang lain yang memang layak untuk diikuti. Sebagaimana dijelaskan dalam teks sumber wahyu :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali lmran ayat 31)
Ittiba’ pada dasarnya sama dengan taqlid, namun bedanya adalah jika taqlid adalah mengikuti tanpa ilmu, sementara ittiba’ adalah mengikuti berdasarkan ilmu. Ittiba’ berarti mengikuti suatu sikap tindakan dengan juga berusaha mengetahui alasan atau argumentasi (dalil) atas tindakan dengan cara terus belajar. Sikap ini yang memang harusnya dilakukan oleh orang yang berakal sebab selain dalam dirinya memiliki potensi akal sebagai “alat deteksi dini ketidaktahuan” sekaligus sebuah anjuran agama menegaskan tentang kewajiban untuk terus menuntut ilmu (thalabul ilmi fariidhatun ‘ala kulli muslimin).
Intinya bahwa pendekatan profetik sangat menekankan agar seseorang dalam melakukan suatu tindakan haruslah didasarkan atas pilihan sadar untuk itu menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mempelajari ilmu, karena hal ini adalah suatu perintah wajib agama bagi siapa saja agar seseorang dapat bertanggungjawab sepenuhnya atas sikap tindakan yang dilakukannya. Jadi, lakukan setiap tindakan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab berdasarkan argumentasi ilmu. Namun jika tidak mampu melakukannya maka ikutilah jalan orang berilmu dengan segala kesadaran ilmu pula sehingga nantinya tidak akan terjebak pada tindakan taqlid buta.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB