oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Setiap orang dalam interaksi kemanusiaan dibangun atas beragam perbedaan (inequalitas), baik perbedaan berpikir, sudut pandang, asal usul daerah kelahiran, suku bangsa, dan sebagainya. Perbedaan bukanlah alasan untuk saling membenci, bermusuhan dan menjauh serta menebarkan keburukan. Sebaliknya perbedaan itu haruslah mampu membuat setiap individu dapat mengembangkan potensinya.
Konsep atqaakum (paling taqwa diantara kalian) dihadirkan setelah Allah swt dalam teks sumber wahyu menjelaskan tentang penciptaan manusia dan proses interaksinya dengan yang lain. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS.Al-Hujurat, Ayat 13)
Teks ayat diatas memberikan sebuah kesan bahwa proses interaksi manusia baik antar individu dan antar kelompok yang berbeda pasti akan mengalami proses “kompetisi budaya” dalam melalui proses menuju ta’aruf (upaya saling mengenal) atau dengan kata lain diantara individu atau kelompok yang berbeda tersebut saling melakukan proses negosiasi makna dan persuasi kelompok sehingga lahir berbagai realitas komunikasi semisal etnosentrisme (suatu pemikiran yang menganggap bahwa kelompoknya yang paling baik diantara lainnya), prejudice (suatu anggapan negatif atas kelompok lain), hegemoni budaya (suatu kelompok budaya menguasai atas budaya lainnya) dan sebagainya. Semua ini dibangun atas persepsi “kompetisi kelompok atau budaya”.
Proses ta’aruf dipahami tidaklah selalu melewati jalan yang mulus. Bahkan tidak jarang dalam melalui proses itu setiap kelompok akan mengalami konflik karena pada dasarnya setiap kelompok memiliki beragam perbedaan yang sedang interaksikan. Kalimat “inna akramakum ‘indallahi atqaakum” seakan memberikan sebuah kesan bahwa dalam interaksi antar kelompok yang berbeda budaya itu, ada yang berhasil memenangkan kompetisi sehingga bertahan. Namun ada pula yang mengalami “kekalahan budaya” yaitu ketidakmampuan suatu kelompok budaya dalam mempersuasi dan mempengaruhi realitas, sehingga tersingkirkan dari realitas kehidupan masyarakat.
Teks kalimat “inna akramakum” seakan memberikan sebuah kesan bahwa ada kesungguhan dari Allah (dengan menggunakan huruf tauqid, yang berarti sungguh-sungguh) bahwa konflik antar kelompok itu sangat nyata yaitu setiap kelompok pasti membanggakan diri dan ingin menunjukkan sebagai yang terkuat dalam memberikan pengaruhnya hingga layak untuk menguasai kelompok lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam teks wahyu :
مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ
yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Rum, Ayat 32)
Bahkan manakala konflik antar kelompok tidak mampu diatasi akan berujung pada suatu keadaan yang sangat buruk, yaitu pertumpahan darah. Hal ini sekaligus menegaskan atas apa yang dikhawatirkan oleh malaikat disaat awal penciptaan manusia dengan melakukan protes terhadap Allah swt. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu :
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 30).
Kompetisi kelompok melalui persuasi komunikasi antar budaya dianggap sebagai sebuah keniscayaan realitas, maka untuk itu Allah swt memberikan informasi indikator tentang kemuliaan suatu kelompok bahwa tidaklah ditentukan oleh kemmmpuannya memenangkan dan menguasai kelompok budaya lainnya, melainkan bahwa kejayaan dan kemuliaan suatu kelompok ditentukan oleh sejumlah faktor kualitas yang melekat pada diri personal dari setiap anggota kelompok, itulah yang disebut dengan takwa (inna akramakum ‘indalllahi atqaakum).
Atqaakum adalah suatu konsep yang ingin dikenalkan dalam perspektif profetik bahwa kualitas kelompok dalam komunikasi antar budaya ditentukan oleh kualitas individunya berupa rasa tanggungjawabnya yang tinggi dalam menjalani kehidupan dan dibingkai dalam kesadaran yang tinggi pula atas nilai Ketuhanan.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ “
Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” (HR Muslim)
Taqwa adalah penentu kualitas individu yang akan menjadikan manusia dan suatu kelompok berada pada suatu derajat terbaik dalam suatu realitas. Bahkan manakala individu-individu dalam suatu kelompok budaya, suku ataupun bangsa mampu membangjn kualitas taqwa pada masing-masing diri anak bangsanya maka hal itu akan menjadi solusi dan jalan menuju kejayaan dan kemenangan dalam sebuah kompetisi kehidupan. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu :
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf, Ayat 96)
Artinya taqwa adalah nilai kualitas tertinggi dari individu atas interaksinya dalam berbagai realitas kehidupan yang dibingkai dalam ketaatan dan nilai ketuhanan. Hal ini sekaligus menjadi solusi menuju kemenangan dalam konflik kelompok.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB