Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB [email protected]
Serangan Israel ke Qatar merupakan serangan kriminal dan ceroboh, karena nyata-nyata merupakan pelanggaran kedaulatan Qatar. Tidak salah jika Qatar mengatakan bahwa serangan tersebut sebagai state terrorism.
Serangan ini diluar perhitungan Israel dan blunder, sebab serangan tersebut justru memicu lahirnya aliansi yang dipimpin Iran antara Iran, Mesir Qatar dan Turki yang kemudian balas menyerang kepada Israel.
Nampaknya Israel di tengah tengah isolasi diplomasi oleh negara-negara Arab semakin membabi buta menyerang 6 negara dalam 72 jam, yaitu negara-negara yang dianggap memusuhi Israel.
Serangan Israel kepada Qatar ini agak aneh, sebab Qatar selama ini merupakan negara netral yang berupaya menjembatani perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina. Selain itu Qatar adalah negara sekutu AS.
Serangan Israel terhadap Qatar, dalam konteks ini, bukan sekadar aksi militer, tetapi juga pukulan terhadap pusat gravitasi diplomasi dan energi dunia.
Ada beberapa faktor hipotetis yang dapat menjelaskan mengapa Israel mengambil langkah ekstrem ini. Pertama, peran Qatar dalam mendukung kelompok-kelompok yang dianggap dekat dengan Hamas atau Ikhwanul Muslimin kerap dipandang Tel Aviv sebagai ancaman laten. Kedua, keberadaan media global seperti Al Jazeera yang bermarkas di Doha sering kali menjadi corong kritik internasional terhadap kebijakan Israel di Palestina. Ketiga, Israel mungkin ingin mengirim sinyal kuat kepada negara-negara Teluk bahwa normalisasi hubungan seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab dan Bahrain lewat Abraham Accords tidak boleh disertai dengan dukungan ganda pada pihak yang dianggap musuh Israel.
Namun, perhitungan ini diluar dugaan. Qatar bukanlah negara lemah; ia memiliki dukungan ekonomi yang besar, hubungan erat dengan Washington, serta jaringan diplomasi luas.
Serangan ke Qatar nyata-nyata memicu solidaritas sesama anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC). Arab Saudi, yang selama ini menjaga keseimbangan antara keterbukaan pada Israel dan solidaritas dunia Islam, terpaksa harus mengambil sikap lebih keras. Uni Emirat Arab, yang sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, berada dalam posisi dilematis: mempertahankan hubungan ekonomi dan teknologi dengan Israel atau menunjukkan solidaritas regional.
Bahkan Mesir yang selama ini cukup akomodatif terhadap Israel, ikut bergabung dengan aliansi Iran, Qatar dan Turki. Ini jelas mimpi buruk bagi Israel.
Israel yang sangat jumawa dan percaya diri dengan kekuatannya yang seolah olah yang terkuat dan tak terkalahkan di kawasan Timur Tengah, kali ini salah strategi, karena justru kecerobohan menyerang Qatar memicu aliansi baru.
Iran kemungkinan besar akan memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisinya sebagai pelindung dunia Muslim melawan Israel. Hal ini dapat meningkatkan risiko konfrontasi langsung antara blok pro-Israel dan blok pro-Iran di Teluk.
Salah satu efek paling nyata dari krisis ini adalah melonjaknya harga energi. Qatar memasok hampir seperlima kebutuhan LNG dunia, terutama bagi Eropa yang masih mencari alternatif pasokan pasca perang Ukraina. Serangan ke fasilitas energi Qatar akan memicu kepanikan pasar, mendorong kenaikan harga gas, serta menambah tekanan pada inflasi global. Negara-negara konsumen energi, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa, kemungkinan segera mendesak de-eskalasi demi menjaga stabilitas pasokan.
Washington, yang memiliki pangkalan militer utama di Qatar (Al Udeid Air Base), tidak bisa tinggal diam. Serangan Israel ke Qatar berarti menempatkan kepentingan Amerika Serikat di garis depan bahaya. Meski AS selama ini menjadi sekutu utama Israel, peristiwa ini berpotensi memaksa Gedung Putih menekan Tel Aviv untuk meredam eskalasi.
Di sisi lain, Tiongkok sebagai importir energi terbesar dari Teluk, melihat peluang memperluas pengaruhnya dengan menawarkan mediasi atau dukungan ekonomi pada Qatar. Beijing juga bisa menggunakan krisis ini untuk melemahkan dominasi AS di kawasan dengan memainkan kartu energi.
Konflik Israel–Qatar akan mempercepat pembentukan blok-blok baru. Turki, yang punya kedekatan dengan Doha, hampir pasti akan berdiri di pihak Qatar. Rusia, yang berkepentingan menjaga kestabilan pasar energi, mungkin akan memanfaatkan kekacauan ini untuk memperkuat posisinya di OPEC+ dan mempererat hubungan dengan Iran serta Qatar.
Dengan demikian, Timur Tengah bisa memasuki konfigurasi multipolar yang lebih rumit: Israel dan sekutu dekatnya (potensial bersama UEA dan sebagian dukungan Barat) berhadapan dengan koalisi Qatar, Turki, Iran, dan dukungan terselubung dari Rusia maupun Tiongkok.
Secara paradoks, serangan ke Qatar justru dapat menghidupkan kembali dukungan internasional terhadap isu Palestina. Sebagai salah satu sponsor utama rekonstruksi Gaza dan penyedia bantuan kemanusiaan, Qatar telah lama berperan penting bagi masyarakat Palestina. Dengan menjadi korban langsung serangan Israel, simpati dunia Arab dan global bisa bergeser, memicu tekanan diplomatik lebih keras terhadap Tel Aviv.
PENUTUP
Serangan Israel ke Qatar menunjukkan betapa rapuh dan dinamisnya geopolitik Timur Tengah. Dampaknya meluas dari solidaritas regional, pasar energi global, hingga hubungan kekuatan besar. Dunia kini menghadapi babak baru di mana konflik lokal dapat dengan cepat berubah menjadi krisis global.
Kehadiran aliansi baru antara Iran, Qatar, Mesir dan Turki akan mengubah geo politik dan konfigurasi kekuatan di kawasan Teluk dan Timur Tengah, dan tentu ancaman serius bagi kepongahan Israel.
Bagi kawasan, tantangan utamanya adalah menghindari spiral eskalasi yang dapat memicu perang besar di Teluk. Bagi dunia, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa keamanan energi dan perdamaian global masih sangat ditentukan oleh dinamika Timur Tengah wilayah kecil yang terus mengguncang politik internasional.(*)