Amanah itu berat dalam pandangan Allah swt namun dianggap ringan dalam pandangan manusia. Sebab dalam amanah ada kesungguhan, perhatian serius dan pertanggungjawaban yang sangat berat kelak di akhirat. Hingga disaat amanah Allah swt tawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung maka semuanya menolaknya. Namun anehnya manusia menerimanya dengan penuh kebahagiaan. Sebagaimana dalam Firman Allah swt :
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh, (QS. Al-Ahzab : 72)
Artikel ini sengaja saya tulis dipersembahkan untuk para pengemban amanah pada apapun profesi dan levelnya. Sebab hal yang paling langka di akhir zaman adalah amanah negeri kita sedang mengalami krisis amanah di berbagai level dalam kenegaraan dan kebangsaan kita. Sementara dengan amanah mengundang kemakmuran.
Modal utama seseorang dalam mengemban amanah adalah kejujuran. Sikap ini yang mengantarkan Nabi Muhammad dalam derajat kemuliaan di hadapan manusia hingga mendapatkan gelar al Amiin, yang sangat terpercaya. Di akhir zaman, sifat amanah dan kejujuran adalah sesuatu yang sangat langka dan sulit di temukan. Hal ini telah disebutkan oleh nabi satu setengah abad yang lalu, sebagaimana dalam sabdanya :
يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ الْوَكْتِ ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا وَلَيْسَ فِيهِ شَىْءٌ – ثُمَّ أَخَذَ حَصًى فَدَحْرَجَهُ عَلَى رِجْلِهِ – فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ لاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّى الأَمَانَةَ حَتَّى يُقَالَ إِنَّ فِى بَنِى فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِينًا. حَتَّى يُقَالَ لِلرَّجُلِ مَا أَجْلَدَهُ مَا أَظْرَفَهُ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ. وَلَقَدْ أَتَى عَلَىَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِى أَيَّكُمْ بَايَعْتُ لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا لَيَرُدَّنَّهُ عَلَىَّ دِينُهُ وَلَئِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا أَوْ يَهُودِيًّا لَيَرُدَّنَّهُ عَلَىَّ سَاعِيهِ وَأَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ لأُبَايِعَ مِنْكُمْ إِلاَّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا.
“Seorang laki-laki tertidur. Kemudian diambil dari amanah dari hatinya sehingga tersisa bekasnya tinggal seperti sesuatu yang sudah luntur warnanya. Kemudian ia tertidur lagi lalu amanah diangkat dari hatinya sehingga tersisa semisal segenggam bara/lepuhan yang engkau gulirkan ke kakimu lalu mendidih kemudian engkau melihatnya melepuh namun tidak tersisa padanya sesuatu yang bermanfaat”. Kemudian beliau mengambil kerikil kemudian beliau mengulirkannya ke kakinya. Kemudian orang-orang akan bangun dan saling berjual beli namun tidak ada seseorang pun yang menunaikan amanah hingga ada yang mengatakan, “Sesungguhnya di Bani Fulan ada seseorang laki-laki yang amanah”. Kemudian dikatakanlah pada seorang laki-laki, “Sungguh cerdas! Sungguh cerdik! dan sungguh kuat! Sementara di dalam hatinya tidak ada keimanan seberat biji sawi pun. Telah datang kepadaku satu zaman di mana aku tidak pernah peduli kepada siapa saja di antara kalian aku melakukan jual beli, jika ia seorang muslim, maka keislamannya yang akan mengembalikan (amanah), dan jika seorang Nasrani, maka walinyalah yang akan mengembalikan (amanah) kepadaku. Adapun hari ini, maka aku tidak melakukan jual beli kecuali kepada si fulan dan si fulan” (HR. Bukhari).
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
‘Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,’ dia (Abu Hurairah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat! (HR. Bukhari)
Anehnya, Sekalipun amanah adalah sesuatu yang sangat berat namun yang menginginkannya amatlah banyak hingga banyak manusia akhir zaman yang meminta dan menawarkan diri. Sehingga yang dijumpai adalah banyaknya penyelewengan atas amanah. Sebab siapapun yang meminta amanah sebuah jabatan maka Allah swt berlepas diri darinya, tidak akan ada pertolongan dari Allah swt. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah r.a :
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. Bukhari)
Seorang yang mengemban amanah jabatan sejatinya adalah bukan karena hasil usahanya melainkan kehendak Allah swt yang diberikan kepada siapapun yang Allah swt kehendaki. Sebagaimana FirmanNya :
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali ‘Imran : 26)
Perlu diketahui bahwa pada beberapa amanah public seperti anggota dewan ataupun amanah jabatan politik maka sesungguhnya amanah tersebut bersifat representatif yaitu seorang penerima amanah bukanlah disebabkan karena kompetensi diri melainkan amanah tanggung renteng dari banyak orang (masyarakat atau konstituen) sehingga tidaklah pantas seorang pejabat penerima amanah publik merasa bahwa jabatan tersebut adalah milik dirinya sendiri atas usaha sendiri.
Amanah sejatinya adalah ujian bagi setiap penerimanya. Untuk itulah amanah yang diterima haruslah dikembalikan lagi bagi masyarakat yang telah menitipkan kepercayaan dan kepada Tuhan yang telah memberi amanah kepadanya. Mengembalikan amanah dalam bentuk memberikan kepedulian dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat atau publik serta semakin mendekatkan diri dengan peribadatan dan memberikan kemanfaatan yang besar bagi agama Allah. Semua itu adalah bentuk pertanggungjawaban yang bisa diberikan oleh penerima amanah selama di dunia, kemudian di akhirat adalah sejauh mana tindakan pertanggungjawaban dunia itu dilakukannya dengan benar dan ikhlas yang hasil akhirnya menjadi kewenangan Allah swt untuk membalasnya.
Karena itu setiap penerima amanah selayaknya bertanggungjawab penuh atas apapun yang telah diembannya dengan mengoptimalkan seluruh potensi untuk memberikan yang terbaik pada si pemberi amanah, yaitu masyarakat dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Para pengemban amanah harus menyadari bahwa waktu yang dilaluinya selama mengemban amanah selayaknya digunakan untuk banyak memberikan kemanfaatan. Karena hidup sejatinya adalah menanam dan memanen atau menuai. Apa yang dilakukan hari ini pasti setiap orang akan menuainya di masa yang akan datang. Jika seorang pengemban amanah pada saat ini menamam kebaikan berupa perhatian, kepedulian, dan tanggungjawab maka kita pasti akan memanen kepercayaan dan kelak akan berbalas kebahagiaan dan keberkahan baginya. Namun jika saat sedang mengemban amanah, seseorang sedang menanam keburukan berupa cuek, tidak peduli, lupa janji dan lepas tanggung jawab maka dirinya pasti akan menuai kecaman, protes, ketidakpercayaan dan orang akan menjauh serta lari darinya, dan keberkahan hidup akab menjauh serta kelak akan menghadapi pertanggungjawaban yang amat berat di sisiNya.
Untuk itu, jangan mudah menerima amanah apalagi memintanya. Namun manakala amanah sudah di tangan maka penuhilah dengan sungguh-sungguh penuh rasa tanggungjawab dan pergunakanlah untuk memberikan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat dan agama Allah agar hidup bahagia penuh berkah di dunia dan kelak diakhirat berada dalam kebahagiaan yang abadi.
Semoga Allah swt memberikan kemampuan dan kekuatan agar saat dalam mengemban amanah selalu mendapatkan pertolongan bantuan dan bimbinganNya. Semoga kelak mendapatkan ridho dan kebahagiaan dariNya. Aamiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar