oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu keberhasilan dalam menangani keluhan dari pihak-pihak yang merasa tidak puas atas pemberian suatu layanan adalah dengan cara bersikap lemah lembut, bersabar seraya berupaya menjadikan setiap keluhan atas kelemahan yang dirasakan dalam pelayanan dapat berubah menjadi keunggulan dan kepuasan.
Sebuah pengalaman penulis dalam masalah handling complaint sepertinya perlu diungkapkan disini. Yaitu ketika pesawat Cathay Pasific yang penulis tumpangi landing tepat pukul 06.10 waktu zurich pada tanggal 15 November 2018, udara dingin 6 derajat seketika menerpa tubuh saat keluar dari kabin pesawat menuju ruang bandara. Setelah menyelesaikan proses imigrasi, saya langsung menuju baggage claim tempat pengambilan bagasi. Hanya sejenak menunggu terlihat dari ujung lorong conveyor bagasi koper milik saya.
Namun saya sempat kaget disaat pojok ujung atas kiri koper saya pecah. Sejenak saya berpikir, kenapa bisa pecah ? Bagaimana cara petugas bagasi mengeluarkan koper-koper milik penumpang ? Apakah mungkin dilempar begitu saja ? Atau apakah karena tertindih koper-koper barang penumpang lainnya ? Pertanyaan-pertanyaan itu terus hadir dalam pikiran saya. Bahkan tidak hanya koper milik saya yang pecah. Di conveyor itu saya juga melihat ada koper milik penumpang lain yang juga rusak. Saya lalu berpikir, bagaimana caranya agar barang-barang saya aman. Sempat saya berpikir untuk nantinya membeli koper baru di swiss.
Sejenak kemudian, tour leader saya datang kemudian saya sampaikan kalau koper saya rusak. Kemudian dia menyarankan untuk kòmplain ke pihak maspakai yang ada di bandara. Kebetulan berada di counter nomer 21 berjarak 6 counter dari conveyor tempat bagasi saya dikeluarkan. Saya berdua bersama tour leader menuju ke counter bagage claim, disana telah ada dua orang ibu petugas yang sedang menunggu, kemudian kami sampaikan keluhan tentang koper yang rusak tersebut seraya menunjukkan kopernya. Kemudian petugas meminta beberapa bukti surat identitas, paspor dan bukti boarding pas penerbangan saya dari hongkong ke zurich. Dia tidak banyak tanya, hanya menanyakan berapa kira-kira harga koper saya. Saya bilang sekitar 2 juta rupiah (120 euro). Kemudian tanpa banyak basa basi petugas langsung memperlihatkan kepada saya tas koper baru warna abu-abu dan menanyakan apakah kira-kira cukup tas baru itu untuk barang-barang saya atau perlu tas koper yang lebih besar lagi. Saya bilang koper baru itu cukup untuk barang saya.
Dalam hati saya tentu merasa senang karena baru kali ini saya komplain dan langsung diganti dengan yang baru. Inilah bentuk pelayanan prima itu, dalam pikiran benak saya. Selama ini saya mengajar mata kuliah komunikasi pelayanan publik, saya mengajar seakan bermimpi akan pelayanan prima di lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta di negeri indonesia. Namun ternyata masih jauh asap daripada api. Suatu hari saya pernah komplain kepada petugas bandara soekarno hatta atas kerusakan koper saya yang rusak karena disengaja ada yang memaksa membuka kunci koper. Namun apa yang saya dapatkan saat saya melakukan komplain ? Bukannya mendapatkan jawaban yang memuaskan melainkan pertanyaan-pertanyaan yang malah menyudutkan saya dan tidak mendapatkan ganti rugi apapun. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak ? Why we don’t ?
Berbeda dengan apa yang saya alami di bandara Zurich International Airport, pelayanan yang diberikan memuaskan bahkan beyond expectation. Demikianlah layaknya pelayanan yang diberikan. Service excellent itu memberikan ruang untuk tidak hanya sekedar menerima keluhan namun bersedia untuk mengelola keluhan dan merubahnya (handling complaint) menjadi kepuasan. Sebuah kekurangan yang merubah menjadi keunggulan.
Beberapa kali saya sudah keliling ke berbagai negara termasuk Eropa namun kali ini swiss memberikan pelajaran berharga. Inilah swiss, sebuah negara yang dipadu dengan niat untuk memuliakan manusia selayaknya manusia (human humanitation with special good wiil). Melayani adalah mengabdi, sebuah puncak misi utama manusia dalam menjalani kemanusiaannya dalam kehidupan. Melayani adalah Ibadah. Inilah wujud bekerja dengan hati nurani.
Pendekatan profetik Islam telah memberikan arahan tentang bagaimana harusnya seseorang dalam bersikap terhadap orang yang melakukan komplain atau protes dan keluhan atas apa yang dirasakan. Kata kunci dalam menghadapai hal ini adalah bersabar, balaslah setiap kata buruk dengan kebaikan penuh kelembutan. Sebagaimana Firman Allah swt
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 159)
Disaat seseorang melancarkan handling complain maka sebenarnya ia ibarat sedang membawa api (simbol atas ketidakpuasan) dan tidak ada cara yang paling efektif untuk memadamkan api kecuali dengan air. Untuk itulah jadilah air yang menyejukkan dan bersikap penuh pengertian terhadap orang lain. Tersenyumlah, karena itu separuh dari penyelesaian masalah.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB