Berkomunikasi berarti adalah bersikap dan berkata-kata yang terbaik kepada siapa saja. Terlebih kepada orang yang lebih tua dan telah memberikan banyak kebaikannya pada diri seseorang khususnya orang tua. Tanpa orang tua maka seseorang tidak akan pernah ada dan hadir dalam kehidupan. Sehingga berbakti pada kedua orang tua adalah suatu hal yang utama setelah keimanan kepada Allah dan RasulNya.
Berbakti pada orang tua sejatinya adalah menghormati setiap siapa saja yang telah berjasa pada diri seseorang dengan membalas jasa atas kebaikan yang telah diberikan. Berkomunikasi sejatinya adalah pengungkapan atas jati diri seseorang. Sebagaimana dalam sebuah prinsip komunikasi bahwa setiap perilaku adalah berpotensi komunikasi. Jadi cara seseorang berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dengan menggunakan kata-kata, sikap tertentu, gesture atau gerak gerik dan bahasa tubuh (body language) seperti tatapan mata, mimik muka, nada suara, irama, jarak, pilihan waktu, tone atas kalimat hingga pilihan diksi kalimat, maka kesemua itu menjelaskan dengan utuh atas apa yang memenuhi pikiran, pemahaman dan karakteristik kepribadian seseorang.
Seseorang dapat dinilai baik dapat dilihat dari cara orang tersebut dalam berkomunikasi dengan orang diluar dirinya, terlebih khususnya kepada orang yang sangat berjasa pada dirinya yaitu orang tuanya sendiri. Terkadang ada seseorang yang sangat baik dan sopan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain namun terhadap orang tuanya sendiri tidak santun bahkan terkesan menggunakan gaya komunikasi yang cenderung negatif (semisal, berani menentang bahkan menantang, tidak tunduk patuh, melanggar perintah, tidak sopan, lebih mengutamakan orang lain dsb). Fenomena seperti ini banyak dijumpai dalam realitas antara hubungan seorang anak dengan orang tua terlebih dengan ayahnya sendiri.
Padahal perintah berbakti pada orang tua adalah perintah yang sangat utama dalam interaksi dan komunikasi kemanusiaan. Bahkan perintah ini telah menjadi risalah dari para Nabi sebelumnya untuk ummatnya. Artinya perintah berbakti pada orang tua adalah perintah Tuhan bagi seluruh ummat manusia sepanjang masa. Sebagaimana Firman Allah swt :
وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِيثَٰقَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ لَا تَعۡبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَانٗا وَذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيۡتُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنكُمۡ وَأَنتُم مُّعۡرِضُونَ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang. (QS. Al-Baqarah : 83)
Perintah berbuat baik dengan cara bertutur yang baik pada manusia terlebih kepada orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, memberi pendidikan pada seseorang adalah perintah yang utama. Tutur kata yang buruk terhadap orang tua bukan hanya sekedar melahirkan disharmoni melainkan destroy (menghancurkan dan membinasakan) yang akan mengarahkan pelakunya pada kebinasaan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana disampaikan dalam Firman Allah tersebut diatas dan sabda Nabi berikut :
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
berkata ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku katakan: “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya”. Kemudian aku tanyakan lagi: ” Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua”. Lalu aku tanyakan lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah”. Maka aku berhenti menyakannya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya aku tambah terus pertanyaan, Beliau pasti akan menambah jawabannya kepadaku”. (HR. Bukhari. No. 2574)
Bentuk komunikasi kebaktian dengan orang tua antara lain tunduk patuh dan taat pada perintah orang tua, mendoakan orang tua, berkata lembut pada keduanya, mendengarkan uvapan orang tua dengan tulus dan sopan, mendahulukan perintah dan kepentingan orang tua daripada orang lain, penuh perhatian dan kepedulian pada orang tua,
Hal yang harus dijauhi oleh seorang anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua karena hal demikian berikut akan menghancurkan adalah dengan tidak membentaknya, tidak membantahnya, tidak berkata kasar, tidak meninggikan suara dihadapan orang tua, tidak mengesampingkan orang tua, tidak menomerduakan orang tua dibandingkan dengan yang lainnya, tidak mendahulukan dan memotong pembicaraan orang tua, cuek dan tidak peduli pada orang tua.
Tercatatlah kisah dalam sebuah hadist yang cukup panjang dalam riwayat hadist Imam Bukhari. Tentang seorang anak yang mulai kedudukannya di sisi Allah swt dan menjadi pesan amanat Rasulullah kepada Sahabatnya untuk nantinya dapat menemui orang tersebut. Sementara orang tersebut bukanlah seorang terhormat di kotanya bahkan cenderung disepelekan dan dianggap orang gila. Disebutkan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Al Qasim; Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Al Mughirah; Telah menceritakan kepadaku Sa’id Al Jurairi dari Abu Nadhrah dari Usair bin Jabir bahwa penduduk Kufah mengutus beberapa utusan kepada Umar bin Khaththab, dan di antara mereka ada seseorang yang biasa mencela Uwais. “Ketika Umar bin Khaththab didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia selalu bertanya kepada mereka; ‘Apakah Uwais bin Amir dalam rombongan kalian? ‘ Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan Uwais seraya bertanya; ‘Apakah kamu Uwais bin Amir? ‘ Uwais menjawab; ‘Ya. Benar saya adalah Uwais.’ Khalifah Umar bertanya lagi; ‘Kamu berasal dari Murad dan kemudian dan Qaran? ‘ Uwais menjawab; ‘Ya benar.’ Selanjutnya Khalifah Umar bertanya lagi; ‘Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu? ‘ Uwais menjawab; ‘Ya benar.’ Khalifah Umar bertanya lagi; ‘Apakah ibumu masih ada? ‘ Uwais menjawab; ‘Ya, ibu saya masih ada.’ Khalifah Umar bin Khaththab berkata; ‘Hai Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah maka akan dikabulkan sumpahnya itu, maka jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampunan untuk kalian, lakukanlah! ‘ Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku! ‘ Lalu Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Setelah itu, Khalifah Umar bertanya kepada Uwais; ‘Hendak pergi kemana kamu hai Uwais? ‘ Uwais bin Amir menjawab; ‘Saya hendak pergi ke Kufah ya Amirul mukminin.’ Khalifah Umar berkata lagi; ‘Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada pejabat Kufah? ‘Uwais bin Amir menjawab; ‘Saya Iebih senang berada bersama rakyat jelata ya Amirul mukminin.’
Usair bin Jabir berkata; ‘Pada tahun berikutnya, seorang pejabat tinggi Kufah pergi melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Selesai melaksanakan ibadah haji, ia pun pergi mengunjungi Khalifah Umar bin Khaththab. Lalu Khalifah pun menanyakan tentang berita Uwais kepadanya. Pejabat itu menjawab; ‘Saya membiarkan Uwais tinggal di rumah tua dan hidup dalam kondisi yang sangat sederhana.’ Umar bin Khaththab berkata; ‘Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kelak Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman. Ia berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham. Kalau ia bersumpah dengan nama Allah, niscaya akan dikabulkan sumpahnya. Jika kamu dapat meminta agar ia berkenan memohonkan ampunan untukmu, maka laksanakanlah!”.
Setelah itu, pejabat Kufah tersebut Iangsung menemui Uwais dan berkata kepadanya; ‘Wahai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku! ‘ Uwais bin Amir dengan perasaan heran menjawab; ‘Bukankah engkau baru saja pulang dari perjalanan suci, ibadah haji di Makkah? Maka seharusnya engkau yang memohonkan ampunan untuk saya.’ Pejabat tersebut tetap bersikeras dan berkata; ‘Mohonkanlah ampunan untukku hai Uwais? ‘ Uwais bin Amir pun menjawab; ‘Engkau baru pulang dari ibadah haji, maka engkau yang Iebih pantas mendoakan saya.’ Kemudian Uwais balik bertanya kepada pejabat itu; ‘Apakah engkau telah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah? ‘ Pejabat Kufah itu menjawab; ‘Ya. Aku telah bertemu dengannya.’ Akhirnya Uwais pun memohonkan ampun untuk pejabat Kufah tersebut. Setelah itu, Uwais dikenal oleh masyarakat luas, tetapi ia sendiri tidak berubah hidupnya dan tetap seperti semula. Usair berkata; ‘Maka aku memberikan Uwais sehelai selendang yang indah, hingga setiap kali orang yang melihatnya pasti akan bertanya; ‘Dari mana Uwais memperoleh selendang itu? ‘” (HR. Muslim. no 4613)
Lalu apa yang dilakukan oleh Uwais terhadap orang tuanya?. Uwais memiliki seorang ibu yang lumpuh dan berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini tentu sulit dilaksanakan pada saat itu karena keadaan keluarga yang sangat miskin, jarak yang jauh (Yaman) dan tidak adanya transportasi. Sehingga Uwais berusaha mencari solusi. Ditemukanlah ide, dibelilah seekor lembu yang masih kecil dan dibuatkan kandang diatas bukit. Setiap hari Uwais menggendong lembu itu naik turun bukit hingga lembu itu cukup dewasa dan beratnya diperkirakan sama dengan berat menggendong ibunya untuk berangkat menunaikan ibadah haji. Saat musim haji, digendonglah ibunya dari Yaman menuju Mekkah. Sesampainya di depan Ka’bah, Uwais berdoa “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,”. Lalu ibunya bertanya, “Bagaimana dengan dosamu wahai anakku?”. Uwais menjawab, “Dengan terampuninya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawa aku ke surga.” Demikian hebatnya pengabdian dan kebaktian Uwais atas ibunya hingga derajatnya sangat tinggi di sisi Allah swt.
Demikianlah, salah satu perintah mulia dari Tuhan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat adalah berinteraksi dan berbakti pada kedua orang tua dengan kebaktian yang tulus melalui cara berkomunikasi yang dapat membuatnya senang dan menjauhkan dari ucapan, sikap dan tindakan yang dapat menyakiti perasaannya. Komunikasi yang mampu mengarahkan pada didapatkannya ridho orang tua atas diri seseorang. Dengan ridho orang tua inilah maka akan didapat ridho dari Allah swt. Bahasa komunikasi yang penuh ridho, adalah komunikasi yang saling berharmoni. Itulah ciri dari komunikasi ala kenabian (Komunikasi Profetik) yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Semoga kita diberi kemampuan untuk dapat terus membahagiakan orang tua dan nantinya mendapatkan ridhonya. Ridhollah fii ridhal waalidaini, wa sukhtulllah fii sukhtil waalidaini. Dengan ridho kedua orang tua, kita raih ridha Allah swt. Aamiin..