Kualitas seseorang dilihat dari bagaimana dirinya disaat berbicara dengan orang lain, baik ucapan maupun tindakan. Karena apa yang diproduksi oleh seseorang berupa ucapan, tindakan hingga gesture dan body language sejatinya adalah tumpahan dari apa yang ada dan memenuhi dalam pikiran dan hatinya. Sehingga setiap pesan yang diproduksi menjelaskan secara gamblang nilai dan kualitas personal seseorang. Karena setiap produksi pesan seseorang menjadi ranah respon dan interpretasi orang lain yang menjadi lawan bicaranya atau interaksinya. Dalam komunikasi antar manusia (human communication), seseorang tidak hanya berinteraksi dengan aspek verbal semata melainkan melibatkan seluruh indera yang dimiliki manusia termasuk yang paling utama adalah perasaan, hati. Disinilah perlunya rasa komunikasi dalam berintetaksi dengan manusia lainnya. Karena manusia lahir, hidup dan dibesarkan melalui rasa bukan semata fisik rasional, ada hati sebagai pusat segala perasaan yang menilai dan menimbang setiap produksi pesan dalam interaksi antar manusia.
Sebuah kata “Alhamdulillah” akan berbeda makna dalam penangkapan interpretasi setiap individu jika diucapkan dalam beragam tingkat kesantunan yang berbeda antara senyuman bahagia penuh ketulusan dengan sikap ketus, ketawa sinis dan atau kesedihan. Rasulullah adalah teladan seorang komunikator yang ulung (bersifat tabligh) yang sangat pantas menjadi teladan bagi siapa saja yang ingin menjadikan proses interaksinya bermuara pada hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu komunikasi yang santun dan sopan. Sebagaimana Firman Allah:
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (QS Tha-Ha : 44)
Dalam pilihan kata ada kecerdasan, setiap diksi menjelaskan kedalaman pemahaman, dan setiap respon tindakan adalah keluhuran akhlaq sang pemiliknya. Demikianlah keteladanan nabi dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perhatikan bagaimana kehalusan, kelembutan dan kesantunan nabi memanggil orang lain. Nabi selalu memberikan panggilan dengan sebutan yang paling disukai oleh lawan bicaranya. Terhadap Istri tercintanya, Khadijah binti Khuwailid, nabi memanggilnya dengan julukan At-Tahirah, wanita suci. Terhadap Aisyah sang istri, nabi memanggilnya dengan yaa humairah (wahai si pemilik pipi yang kemerah-merahan, merah jambu).
Bahkan nabi memberikan nama panggilan dan sekaligus julukan kepada para sahabatnya sebagai bentuk penghargaan dan memuliakan mereka yang merupakan wujud kesantunan dan kehebatan komunikasi Rasulullah dalam memotivasi dan menempatkan para sahabat dalam posisi terhormat. Terhadap Abu bakar sang sahabat dekat Rasulullah memanggilnya dengan julukan “Ashshiddiq”, yang selalu membenarkan. Terhadap Umar ibn khattab, Rasulullah memanggilnya dengan “al Faruq”, sang pembeda, pemisah dengan tegas sebab ketegasan sikapnya. Terhadap Utsman bin Affan, beliau memanggil dengan sebutan gelar “Dzu Nurain” Pemilik dua cahaya, karena menikahi dua putri Rasulullah, yaitu Ruqayyah, setelah Ruqayyah wafat Utsman menikahi Ummu Kultsum. Terhadap Ali bin abi thalib, Rasulullah memanggil dengan al murtadho, orang yang di ridhoi. Terhadap Hamzah bin Abdul Muthalib, pamannya, nabi memanggilnya dengan Assadullah, Sang Singa Allah. Bahkan terhadap sahabat yang dahulu pernah memusuhinya, Khalid bin Walid, Rasulullah memanggil dan memberi gelar atau julukan dengan Syaifullah, Pedang Allah. Terhadap Hasan bin Tsabit, Beliau nabi memanggilnya dengan panggilan sebutan Abul Husam, pedang yang tajam. Terhadap Abdullah bin Abbas diberi julukan Al-Bahr, sang lautan ilmu, atau panggilan lainnya Turjumanul Qur’an, seorang ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dan banyak lagi gelar yang sengaja diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya sebagai bentuk penghormatan kepada mereka sekaligus bukti kesantunan komunikasi Rasulullah saw.
Bahkan kesantunan dan kelembutan komunikasi tidak hanya Rasulullah tunjukkan kepada sesama manusia, bahkan terhadap alam sekitar pun beliau menunjukkan kesantunan dan kelembutan kasih sayangnya. Ketika beliau menjumpai sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, beliau hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Seraya mengucapkan: “Aaamu khairin wa barakatin insya Allah.” (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).
Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh bahagia pula beliau berucap tentangnya: “Hilaalu khairin wa baarakatin insya Allah.” (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya Allah).
Kesantunan komunikasi nabi juga tampak pada cara nabi dalam mengkritik orang lain. Yaitu beliau tidak menyebutkan nama orangnya, namun lebih pada sifat perilakunya. Dalam suatu waktu disaat nabi akan hijrah ke Madinah, terdapatlah seorang sahabiyah bernama ummu qais, seorang wanita cantik dari Makkah yang menolak lamaran seorang pria. Mengetahui bahwa wanita yang disukainya ikut dalam rombongan hijrah, si laki-laki yang menyukainya ikut pula berhijrah. Sehingga dikenallah dalam riwayat dengan sebutan muhajir ummu qais. Rasulullah menanggi realitas tersebut tidak menyebut nama pelaku namun memberikan nilai perilaku. Sebagaimana sabda nabi tentang masalah niat yang menyebutkan :
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari ‘Umar radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.”(H.R. Bukhari, Muslim, dan empat Imam ahli hadits)
Bahkan dalam mengkritik Rasulullah memiliki cara yang sangat hebat, tidak sekedar hanya santun namun memotivasi. Suatu ketika Abdullah bin umar pernah lepas dari shalat malam dan Rasulullah mengkritiknya dengan ucapan, “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah bin Umar kalau dia mau melakukan shalat malam!”.
Demikian pula saat, suatu ketika Sayyidina Abu Bakar melintasi kuburan seorang kafir, beliau berdoa kepada Allah agar melaknat penghuni kubur tersebut karena semasa hidupnya memerangi Allah dan Nabi Muhammad. Doa Sayyidina Abu Bakar itu membuat telinga Amr, yaitu salah satu anak Sa’id bin Ash yang ikut dalam rombongan tersebut memerah. Amr marah dan terjadilah perselisihan antar keduanya. Lalu Amr mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad. kemudian Rasulullah menasehati, “Wahai Abu Bakar, bila kamu berbicara tentang orang kafir maka buatlah kalimat yang masih umum. Bila kamu menyebut seseorang secara khusus, maka anak-anaknya tentu akan marah,” demikian kata Nabi Muhammad kepada Sayyidina Abu Bakar.
Bahkan kesantunan nabi juga tampak indah dalam memberi perintah. Bahkan nabi lebih banyak memotivasi dibandingkan memerintah. Sebagaimana disampaikan oleh seorang pelayan Nabi, Anas bin Malik, berkata, ”Aku membantu Nabi SAW di Madinah selama sepuluh tahun. Aku hanyalah seorang anak kecil, tidak semua pelayanan yang aku berikan sesuai hati. Namun beliau tidak pernah sekalipun mengatakan kepadaku,” Hei!” Beliau tidak pernah mengatakan, ”Kenapa kamu lakukan ini? Atau Kenapa tidak kamu lakukan begitu?” (HR Bukhari dan Muslim).
Demikianlah kesantunan komunikasi dan bicara Nabi dalam berinteraksi dengan orang lain. Suatu gaya komunikasi yang sangat agung, teladan terbaik ummat manusia. Semoga kita bisa meniru nabi dalam beekomunikasi dengan sesama. Sehingga mampu menjadikan setiap hati merasa tersirami pengalaman indah yang menyejukkan rasa. Aamiiin…