Kanal24, Malang – Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengarahkan kementerian dan lembaga untuk melakukan efisiensi anggaran dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran sekaligus menopang program prioritas pemerintah.
Namun, kebijakan ini memicu berbagai tantangan dan kekhawatiran, terutama terkait dampaknya terhadap pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi.
Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D., Pakar Kebijakan Publik dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), menilai bahwa efisiensi anggaran perlu dilakukan dengan pendekatan yang lebih selektif agar tidak berdampak negatif terhadap fungsi layanan publik.
Efisiensi Tidak Bisa Pukul Rata
Prof. Andy menjelaskan bahwa pendekatan efisiensi secara pukul rata dapat menghambat fungsi vital beberapa lembaga yang membutuhkan anggaran besar untuk menjalankan tugasnya.
“Efisiensi itu memang perlu, tetapi jika dilakukan pukul rata, ini berisiko mengurangi kualitas pelayanan publik. Ada lembaga yang sudah efisien tetapi tetap membutuhkan anggaran besar untuk fungsi-fungsi pelayanan,” tutur Dekan FIA UB ini (11/2/2024).
Menurutnya, efisiensi yang tidak terarah dapat mengorbankan fungsi strategis, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, yang menjadi penggerak utama ekonomi masyarakat.
Baca juga : Pemotongan Anggaran Rp8 Triliun, Benarkah Pendidikan Bukan Lagi Prioritas
Evaluasi Jumlah Kementerian untuk Efisiensi Anggaran
Prof. Andy juga menyoroti aspek jumlah kementerian yang dinilai memberikan beban besar terhadap anggaran negara. Menurutnya, penambahan 22 kementerian baru hingga total menjadi 48 kementerian menciptakan kebutuhan anggaran yang besar untuk struktur birokrasi, seperti pengadaan staf ahli, direktur jenderal, sekretaris jenderal, dan berbagai posisi pendukung lainnya.
“Membuka kementerian baru itu tidak sederhana karena setiap kementerian membutuhkan struktur lengkap, mulai dari menteri, staf ahli, hingga direktur. Ini costly, apalagi jika standar jumlah staf ahli atau direktur di setiap kementerian ditetapkan sama. Ada baiknya jumlah kementerian dipertimbangkan kembali atau struktur di dalamnya dibuat lebih efisien,” jelas Prof. Andy.
Ia menyarankan agar jumlah staf ahli atau direktur disesuaikan dengan kebutuhan spesifik setiap kementerian untuk mengurangi beban anggaran tanpa mengurangi efektivitas kerja kementerian.
Efisiensi dan Target Pertumbuhan Ekonomi
Prof. Andy juga mengingatkan pentingnya mengukur dampak kebijakan efisiensi terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita memiliki target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Saat ini pertumbuhan kita masih di angka 5%. Jika kebijakan efisiensi ini tidak dirancang dengan baik, saya khawatir target tersebut sulit tercapai,” tambahnya.
Program MBG, yang menjadi salah satu fokus alokasi anggaran, menurutnya sangat penting, tetapi harus lebih spesifik menyasar kelompok yang benar-benar membutuhkan. “MBG penting, tetapi jangan sampai penerapannya pukul rata. Targetnya harus jelas, seperti anak-anak di daerah miskin atau tertinggal,” jelas Prof. Andy.
Baca juga : FIA UB Ingatkan Regulasi Hukum Baru Jangan Picu Ketimpangan Kewenangan
Tantangan Efisiensi di Tingkat Daerah
Kebijakan efisiensi juga berdampak signifikan di daerah, termasuk Malang Raya. Menurut Prof. Andy, public budget di tingkat daerah sering menjadi penggerak utama ekonomi lokal, terutama di wilayah yang minim investasi swasta.
“Di daerah, public budget sering kali lebih besar daripada private budget. Jika anggaran pemerintah dipangkas, kepala daerah harus mampu menggandeng sektor swasta untuk memastikan pembangunan tetap berjalan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kepala daerah harus kreatif menarik investasi swasta untuk menggantikan peran anggaran pemerintah yang berkurang. “Tugas kepala daerah adalah menciptakan iklim investasi yang menarik bagi sektor swasta, sehingga investasi publik dan swasta dapat berjalan seimbang,” tambahnya.
Evaluasi dan Strategi Efisiensi
Prof. Andy menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap kebijakan efisiensi ini, terutama terkait efektivitas dan dampaknya terhadap masyarakat.
“Evaluasi ini harus dilakukan secara berkala, misalnya setiap enam bulan. Apakah kebijakan ini berdampak positif atau justru menghambat layanan publik? Jika ada kementerian yang tidak perform, perlu ada langkah perbaikan atau resafle,” katanya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya efisiensi di tingkat kementerian, termasuk pengelolaan sumber daya manusia. “Efisiensi bisa dimulai dari struktur organisasi kementerian. Misalnya, jumlah staf ahli atau direktur yang bisa disesuaikan. Dengan begitu, meskipun jumlah kementerian bertambah, biayanya tetap dapat dikendalikan,” jelasnya.
Kebijakan efisiensi anggaran menjadi langkah penting dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, pendekatan yang selektif dan terarah sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pelayanan publik tetap optimal, pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, dan program prioritas berjalan sesuai target.
“Efisiensi bukan sekadar mengurangi anggaran, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat agar pelayanan publik tidak terganggu dan visi pembangunan tetap tercapai,” tutup Prof. Andy. (din)