Ada satu hal unik yang saya jumpai saat berada di Aceh yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat aceh selain semangat beragamanya yaitu kebiasaan minum kopi. Bahkan masyarakat Aceh bisa minum kopi lebih dari 5 kali dalam sehari. Sehingga janganlah kaget jika saat sedang berkunjung ke Aceh, maka kita akan melihat warung-warung pagi sudah ramai dengan orang yang sedang ngopi pagi ditemani nasi gurih khas sarapan pagi masyarakat aceh. Kesempatan ngopi bisa dilakukan pagi, siang, sore hingga malam. Tiada hari tanpa ngopi, demikianlah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan keunikan itu.
Bagi masyarakat Aceh, ngopi adalah memiliki makna kebersamaan dan wujud egaliterianisme sosial. Dalam secangkir kopi ada halaqah bareng, ngobrol bareng, santai bareng disertai hisapan rokok. Dalam setiap tegukan pada secangkir kopi dan isapan asap rokoknya ada “mimpi orang yang terjaga”. Dalam setiap gelembung asapnya ada canda politik ala rakyat bawah yang kadang melampaui idealisme, ada keindahan angan, ada kekayaan, ada dunia impian yang mungkin pula tentang wanita cantik bermata biru di dalamnya.
Pertanyaannya adalah apakah dalam ruang-ruang kopi itu adakah perbincangan tentang benda-benda langit, tentang rumus-rumus matematik dalam menemukan rasi bintang, tentang robot terbaru berbasis aplikasi yang bisa menyuguhkan kopi kepada para pelanggan secara otomatis, tentang tetumbuhan yang bisa berbuah beragam jenis buah dalam satu tangkai dengan bentuk yang beraneka ragam, atau tentang kajian-kajian sejarah, fiqih dan pemikiran serta rencana-rencana publikasi karya ?. Wallahu a’lam, semoga suatu saat akan terjadi budaya ngopi yang demikian.
Lalu bagaimana dengan para peletak dasar peradaban islam di masa lalu yang mungkin juga pernah ngopi dalam halaqah intelektualnya, yang kemudian mereka mampu melahirkan karya-karya besar hingga mampu merubah membalikkan titik sentrum sejarah dari romawi ke arab atau dari eropa yang gelap (dark age) ke eropa yang tercerahkan (aufklarung) melalui gerakan renaisance? Apa yang mereka lakukan hingga mampu melakukan perubahan besar itu ?
Ternyata kunci pembuka pembangunan peradabannya adalah kemampuan para ulama islam dalam menghadirkan pemikiran-pemikiran islam secara kontemplatif dan dialogis, yaitu dialog antara ayat-ayat qauliyah dengan kauniyah. Tentu hal ini dengan cara mengoptimalkan waktu yang dimilikinya untuk terus berpikir dan berkarya, tanpa sedikitpun membuat waktu yang dilaluinya terlewatkan sia-sia.
Allah swt banyak menampar kita dalam urusan persoalan waktu dengan hentakan kata-kata qasam. Yang menandakan bahwa kebanyakan manusia tidak mampu berdisiplin dengan waktu, tidak mampu memanfaatkannya dan mengoptimalkannya. Tidak menggunakannya untuk menghasilkan karya dan hanya digunakan untuk.kesia-siaan sehingga perlu ditampar oleh Allah dengan sumpah atas waktu agar mau tersadar.
Namun sekalipun ditampar dengan sumpah, ternyata masih banyak manusia yang tidak mau tersadar. Ibarat orang yang sedang tertidur, disaat tak mampu dibangunkan dengan cara yang lembut dan ditampar pun tidak pula terbangun maka mungkin cara satu-satunya adalah dengan di dorong hingga terjatuh berguling-guling.
Artinya akibat kelalaian dalam optimalisasi waktu maka hanya kehancuran dan kegagalan-lah yang akan menyadarkannya. Sehingga jika suatu bangsa tidak mampu membangun budaya efektifitas waktu yang mampu menghasilkan karya prestatif maka keterpurukan dan keterjajahan akan menjadi sebuah keniscayaan. Demikianlah Allah swt mengingatkannya dalam alquran :
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Semoga kita benar-benar mampu memanfaatkan waktu dengan baik sehingga menghasilkan produktifitas karya dan melahirkan budaya perilaku yang lebih positif dalam menjalani sisa sisa waktu yang melintas dihadapan kita menuju akhir pengabdian kita di dunia ini. Aaamiin….
Akhmad Muwafik Saleh, Dosen FISIP UB dan Motivator