KANAL24, Malang – Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura resmi diteken pada hari selasa (26/1/2022) di Bintan, Kepulauan Riau. Menurut Pakar Hukum Perjanjian Internasional Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Setyo Widagdo, SH., M.Hum, perjanjian yang dilakukan antara dua negara tersebut adalah perjanjian untuk menyerahkan pelaku tindak pidana.
“Tindak pidana meliputi korupsi, terorisme, pembunuhan, dan narkotika sesuai dengan perjanjian tersebut. Sehingga apabila pelaku tindak pidana tersebut melarikan diri ke Singapura, atas dasar perjanjian tersebut Singapura harus menyerahkan kepada Indonesia, demikian pula sebaliknya, karena perjanjian ini sifatnya resiprositas atau timbal balik,” terangnya melalui sambungan telepon, rabu (26/1/2022).
Namun, alotnya penandatangan perjanjian ini juga menjadi sorotan. Widagdo beranggapan alotnya penandatanganan perjanjian ini disebabkan karena Singapura sedikit “diuntungkan” dengan larinya uang yang dikorupsi oleh koruptor Indonesia, karena uang mereka di simpan di bank-bank Singapura. Pada waktu Singapura diminta untuk tidak melindungi koruptor Indonesia, mereka berdalih dengan alasan tidak melindungi koruptor namun melindungi warga negara asing dan asetnya yang ada disini.
Selan itu, menurut Widagdo, di zaman pemerintahan SBY sudah pernah dilakukan penandatanganan perjanjian serupa. Namun, pada waktu itu, perjanjian ekstradisi satu paket dengan perjanjian pertahanan yang mana ketentuan dari perjanjian pertahanan diantaranya yakni memperbolehkan Singapura melakukan latihan perang di wilayah teritorial Indonesia yaitu di perairan Kepulauan Riau. Hal ini yang menjadi alasan DPR pada waktu itu menolak perjanjian ini, sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku.
Oleh karena itu, Widagdo mengatakan bahwa perlu ada kajian lebih lanjut apakah kali ini perjanjian pertahanan yang juga turut ditanda tangani pada hari selasa kemarin, ketentuan-ketentuannya sudah dirubah.Terlebih lagi, menurut pasal 10 UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, perjanjian tentang pertahanan adalah salah satu materi muatan perjanjian yang harus disahkan oleh DPR dengan UU.
“DPR harus konsisten apabila ketentuan pada perjanjian pertahanan masih belum dilakukan revisi. Karena ini ketentuan tersebut berbahaya bagi wilayah Indonesia. Namun, ada kemungkinan kemungkinan disetujui oleh DPR apabila muatannya direvisi dengan menyertakan Indonesia dalam latihan perang tersebut,” tandasnya. (Meg)