KANAL24, Malang – Pemerintah harus hadir dalam menyelesaikan dengan menelusuri lebih lanjut soal dugaan pembakaran hutan dengan sengaja untuk perluasan lahan kelapa sawit oleh perusahaan asal Korea Selatan, Korindo Group, di hutan adat Papua. Pernyataan ini disampaikan oleh Pakar Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) Mangku Purnomo SP., Msi., PhD kepada kanal24.co.id, senin (16/11/2020).
Menurutnya, penelusuran ini penting untuk mengetahui siapa saja yang berperan dibalik layar dan mempunyai kepentingan untuk mendapat keuntungan dalam kasus ini. Perlu ditelusuri konsesinya seperti apa, kaitannya dengan masyarakat lokal apakah benar ada proses akuisisi tanah, pengalihan tanah adat menjadi tanah perkebunan apakah sudah benar melalui musyawarah adat atau di dalam musyawarah tersebut hanya dihadiri oleh elit-elit adat saja. Hal-hal seperti inilah yang penting untuk diperhatikan.
Wakil Dekan Bidang Keuangan FP UB itu mengatakan ada tiga hal yang perlu segera dilakukan oleh Pemerintah. Pertama, hukum harus ditegakkan. Mulai dari pelaku lokal hingga korporat yang melakukan pembakaran dengan sengaja ini harus ditindak secara hukum. Kemudian Pemerintah memberikan penjelasan kepada masyarakat khususnya masyarakat Papua tentang kasus ini.
“Selanjutnya, perlu dilakukan review AMDAL nya seperti apa. Termasuk juga, kejadian ini merupakan tanggung jawab dari lembaga-lembaga pemberi sertifikasi sawit yakni sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kalau perusahaan itu memiliki kedua sertifikat tersebut dan kemudian melakukan pembakaran secara disengaja, artinya perusahaan itu telah melanggar prinsip-prinsip dan sertifikasi tersebut dan kedua lembaga pemberi sertifikasi itu perlu ditanyakan kredibilitasnya,” jelas Mangku.
Selanjutnya yaitu perbaikan izin pembukaan lahan sawit dengan harus melalui dialog publik, disamping ada perizinan secara formal.
“Seringkali terjadi ketika perizinan dipermudah, proses ini justru malah dipolitisasi untuk kepentingan ekonomi. sehingga mulai sekarang perlu dipikirkan adanya dialog publik tersebut. Dialog publik ini harus melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan langsung di daerah yang akan dilakukan pembukaan lahan tersebut. Termasuk lembaga adatnya, orang lokal, Pemerintah Desa,” imbuhnya.
Model perizinan saat ini menurut Mangku terlalu rentan memunculkan banyak rent seeker, terutama di Pemerintah Daerah dan oknum masyarakat lokal yang mengatasnamakan kepala suku, tokoh masyarakat, yang kemudian “dibeli” tokohnya untuk bisa diajak kongkalikong.
“Pemerintah harus segera melakukan tindakan untuk menunjukkan bahwa Pemerintah hadir dalam menyelesaikan kasus ini. Food estate memang penting untuk Indonesia guna mencapai level tertentu dan memenuhi stok pangan, tetapi soal pembakaran hutan Pemerintah harus tegas karena ini untuk menjaga diversity alam,”tandas dosen FP UB itu. (Meg)