oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Perang di masa sekarang dan masa depan tidak lagi menggunakan perang konvensional yang mengandalkan kekuatan senjata dan militer (hard war) namun lebih menggunakan taktik yang soft atau abu-abu, para ahli mennyebutnya dengan hybrid warfare yaitu dengan menggunakan politik, ekonomi, kemanusiaan, informasi dan tekanan nonmiliter untuk menarik massa (gerasimov, 2013 dalam havid 2019) ataupun pula dengan melakukan perang pemikiran melalui pendidikan warga bangsanya. Sehingga kita mengenalnya sekarang dengan istilah proxy war yaitu peperangan yang tidak perlu keterlibatan langsung negara namun melalui orang-orang pengganti dengan memainkan informasi atau disebut pula perang asimetris dan perang informasi.
Dalam istilah A.Mumford (2013) sebagaimana dalam Havid (2019) menyatakan bahwa pemegang mandat perang proksi hanyalah kepanjangan tangan dari suatu negara yang berupaya mendapatkan kepentingan strategisnya, lewat cara menghindari keterlibatan langsung, atau dalam istilah Jawa, disebut sebagai “Nabok nyilih tangan uwong “. artinya menampar, memukul dengan meminjam tangan pihak ketiga. Intinya bahwa perang masa depan adalah perang informasi sehingga benar apa yang dikatakan oleh para tokoh bahwa di masa yang akan datang siapa yang menguasai informasi maka dia akan menguasai dunia. Jika demikian realitas model perang masa depan maka disinilah nilai-nilai komunikasi profetik islam sangat memberikan peran dan panduan.
Model perang masa depan yang lebih mengandalkan pada kekuatan informasi sebenarnya telah diisyaratkan oleh alquran sejak lama melalui sebuah pesan teks yaitu :
وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ
Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. (QS. Al-Baqarah, Ayat 191)
Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa senjata mematikan yang paling ampuh dalam peperangan di sepanjang masa adalah menebarkan berita palsu, fitnah atau hoax, sebab dampak dari berita hoax ini mampu menjungkirbalikkan realitas. Inilah realitas post truth dimana kebenaran terjungkirbalikkan oleh kebohongan. Berbagai realitas palsu menjadi realitas utama atau meanstream dalam suatu masyarakat. Pemutarbalikan fakta (yang baik dikesankan buruk dan yang buruk dikesankan baik) adalah fenomena yang mengemuka sebagai ciri dari realitas akhir zaman.
Fenomena post truth ini sebenarnya juga telah disampaikan dalam diindikasi hadits nabi tentang realitas akhir zaman. Sebagaimana dalam sabdanya :
عن ابي إمامة الباهلي عن النبي صلي الله عليه و سلم: كيف أنتم إذا طغى نساءكم وفسق شبانكم وتركتم جهادكم. هل ذالك لكائن يارسول الله؟ قال والذي نفسي بيده و أشد منه سيكون. قالوا وماأشد منه يارسول الله. قال:كيف أنتم إذا لم يأمروا بالمعروف ولم ينهوا عن المنكر. قالوا: هل ذالك لكائن يارسول الله؟ قال: والذي نفسي بيده و أشد منه سيكون. قالوا وماأشد منه يارسول الله؟. قال: كيف انتم إذا رأيتم المعروف منكرا ورأيتم المنكر معروفا. قالوا: هل ذالك لكائن يارسول الله؟ قال: والذي نفسي بيده و أشد منه سيكون. قالوا وماأشد منه يارسول الله؟. قال: كيف لنتم إذا امرتم بالمنكر ونهيتم عن المعروف.
رواه أبوا يعلي وابن ابي الدنيا
Dari abi imamah al bahily dari nabi saw : “bagaimana jika telah melampaui batas (berani) para wanita dari kalian dan telah rusak para pemuda kllian dan kalian telah meninggalkan jihad*. Mereka (sahabat) bertanya : apakah hal itu akan terjadi yaa Rasulullah?. Nabi menjawab : demi jiwaku yang ada dalam genggaman tanganNya. Ada hal yang lebih hebat lagi akan terjadi. Mereka (sahabat) bertanya: apa yang lebih hebat itu yaa Rasulullah?. Nabi menjawab : bagaimana kalian jika sudah tidak lagi menyeru pada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran. Mereka (sahabat) bertanya : apakah hal itu akan terjadi yaa Rasulullah?. Nabi menjawab : demi jiwaku yang ada dalam genggaman tanganNya. Ada hal yang lebih hebat lagi akan terjadi. Mereka (sahabat) bertanya: apa yang lebih hebat itu yaa Rasulullah?. Nabi menjawab : bagaimana jika kalian melihat kebaikan telah dianggap sebagai sebuah kemungkaran dan kemungkaran telah dianggap sebuah kebaikan. Mereka (sahabat) bertanya : apakah hal itu akan terjadi yaa Rasulullah?. Nabi menjawab : demi jiwaku yang ada dalam genggaman tanganNya. Ada hal yang lebih hebat lagi akan terjadi. Mereka (sahabat) bertanya: apa yang lebih hebat itu yaa Rasulullah?. Nabi menjawab : bagaimana kalian jika telah mengajak/menyeru pada kemungkaran dan mencegah dari (terlaksananya) kema’rufan. (HR.abu ya’la, dan ibnu abi dun-ya)
Hadist diatas ingin memberikan suatu gambaran bahwa akan terjadi suatu realitas dimana kebenaran bukanlah menjadi tolak ukur dalam menentukan sikap dan kebijakan. Kebijaksanaan individu lebih dipengaruhi oleh faktor emosional tanpa dibangun atas kebenaran (absolut), data atau fakta objektif, namun bersumber pada dorongan ketertarikan individu dan kepercayaan pribadi yang tidak dibingkai oleh objektifitas ilmu. Semua realitas yang menjauh dari nilai-nilai kebenaran ini dijustifikasi menjadi sebuah kebenaran melalui proses opini publik. Inilah yang kemudian disebut dengan realitas post truth. Komunikasi yang bergerak dalam ruang post truth ini mengalami banyak penyimpangan makna, dan kebenaran berada dalam kuasa media yang ada di tangan publik, yaitu jejaring media sosial yang tidak lagi dapat dikontrol oleh pemerintah dan pengawal kebijakan.
Islam memberikan panduan kepada ummat manusia dalam menghadapi realitas apapun melalui bimbingan ilahi dan risalah kenabian sehingga manusia mampu menjalaninya dengan kebaikan dan beradab, termasuk dalam hal ini panduan dalam peperangan hibrida masa depan yang dicirikan dengan perang penguasaan informasi. Panduan adab Islam dalam persoalan ini antara lain:
1. Berfokus pada kebenaran. Islam menekankan agar prinsip kebenaran tetap haruslah dijunjung tinggi. Kebenaran adalah panglima dalam menjalankan seluruh aktifitas kemanusiaan termasuk dalam perang. Karena manakala kebenaran telah tergadaikan maka tidak ada lagi ruang kepercayaan atas tindakan manusia sehingga manusia tak ubahnya kehidupan rimba yang saling memangsa satu dengan yang lainnya tanpa aturan.
2. Menjauhkan dari kebohongan dan dusta dalam setiap informasi (hoax). Komunikasi dalam perang memang adalah sebuah permainan strategi dan taktik untuk mencapai sebuah tujuan. Islam juga memahami bahwa perang itu tipu muslihat. Sebagaimana sabda nabi :
الْحَرْبُ خُدْعَةٌ
“Peperangan adalah (berisi) tipu-daya”
Namun bukan berarti seseorang diperbolehkan untuk melakukan tindakan keburukan dan kejahatan dengan cara yang tidak baik demi tercapainya tujuan. Islam memahami bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Disebutkan dalam sebuah kaidah fiqh bahwa :
الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil” (HR. Bukhari)
Namun sekalipun demikian, Islam tetap menekankan untuk mendahulukan kebenaran daripada kebohongan. Bahkan tindakan kebaikan yang balut dengan kebohongan adalah sesuatu yang tertolak bahkan terlarang menurut Islam. Sebagaimana Firman Allah:
إِذۡ تَلَقَّوۡنَهُۥ بِأَلۡسِنَتِكُمۡ وَتَقُولُونَ بِأَفۡوَاهِكُم مَّا لَيۡسَ لَكُم بِهِۦ عِلۡمٞ وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ
(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (QS. An-Nur, Ayat 15)
Namun nabi juga memberikan batasan bahwa kebohongan diperkenankan dalam tiga kondisi. Sebagaimana sabdanya
أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَقُولُ: «لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا» قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: الْحَرْبُ، وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا. رواه مسلم
Artinya: Bahwa sesungguhnya Ummu Kultsum binti Uqbah Abi Mu’ith mendengar Rasulullah saw. berkata; “Tidak ada kebohongan yang dapat mendamaikan dua orang (yang bertikai), kemudian ia berkata baik dan melebih-lebihkan kebaikan.” Ibnu Syihab berkata (dalam riwayat lain) dan aku belum pernah mendengar Nabi mentolerir kebohongan kecuali dalam tiga kondisi; pada saat perang, mendamaikan dua orang, dan perkataan suami kepada istri, atau sebaliknya. (HR. Muslim)
Kebohongan yang dimaksud bukanlah kebohongan dalam arti yang sesungguhnya (denotatif) melainkan kebohongan konotatif artinya tetap menyampaikan suatu kebenaran namun “seakan tampak kebohongan” yang disebut dengan konsep Tauriyah (menampakkan sesuatu yang bukan dimaksudkan/mengelabui). Yaitu kebohongan untuk menyelamatkan dari kemudharatan yang lebih besar atau mendatangkan kebaikan. Hal ini adalah kebohongan yang diperbolehkan. Sebagaimana terjadi dalam kisah pembunuhan atas Kaab bin Asyraf tokoh yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap Allah dan Rasululullah. Hingga Nabi meminta kepada para sahabat tentang siapa yang berani untuk membunuhnya. Hingga tampillah Muhammad bin Maslamah dan al Harits dan beberapa sahabat lainnya. Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits berikut yang artinya: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al hanzhali dan Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Miswar Az Zuhri keduanya dari Ibnu ‘Uyainah sedangkan lafadznya dari Az Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Amru aku mendengar Jabir berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang sanggup membunuh Ka’ab bin Ashraf? Sebab dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Maka Muhammad bin Maslamah berkata, “Wahai Rasulullah, setujukah anda jika aku yang akan membunuhnya?” beliau bersabda: “Ya, setuju.” Maslamah berkata, “Tetapi, izinkanlah aku terlebih dahulu untuk mengatakan sesuatu kepada anda.” Beliau menjawab: “Silahkan.” Kemudian Dia mendekati beliau untuk menyampaikan sesuatu, akhirnya keduanya terlibat dengan pembicaraan yang serius. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebenarnya Ka’ab memang pernah berniat untuk bersedekah, akan tetapi ia justru menyusahkan kami.” Mendengar keterangan beliau, Muhammad bin Maslamah berkata, “Demi Allah sungguh aku tidak merasa lebih geram daripada kejengkelanku ini.” Muhammad bin Maslamah berkata, “Kami sekarang akan membuntutinya, dan kami tidak suka membiarkan begitu saja sehingga kami mengetahui akhir kesudahannya.” Maslamah berkata (kepada Ka’ab), “Wahai Ka’ab, aku hendak meminjam sesuatu darimu!” Ka’ab bertanya, “Lalu apa yang hendak kamu gadaikan kepadaku sebagai jaminanannya?” Ibnu Maslamah balik bertanya, “Apa yang kamu inginkan?” Ka’ab berkata, “Bagaimana menurutmu jika aku ingin agar kamu menggadaikan isteri-isterimu kepadaku?” Ibnu Maslamah menjawab, “Kamu adalah orang arab yang berpenampilan sangat menarik dan gagah, jadi bagaimana mungkin aku akan menggadaikan isteri-isteriku?” Ka’ab kembali bertanya, “kalau begitu, bagaimana kalau kamu gadaikan anak-anakmu kepadaku.” Ibnu Maslamah menjawab, “Itu tidak mungkin aku lakukan, tetapi aku akan menggadaikan senjataku kepadamu.” Ka’ab menjawab, “Baiklah aku setuju.” Kemudian Muhammad bin Maslamah berjanji akan datang ke rumah Ka’ab bin Al Ashraf dengan ditemani Al Harits, Abu Abbas bin Jabr dan Abbad bin Bisyr. Akhirnya keempat orang tersebut datang ke rumah Ka’ab pada malam hari. Sufyan berkata; selain ‘Amru berkata, “Lalu isterinya Ka’ab berkata, “Sepertinya aku mendengar suara orang yang akan menumpahkan darah.” Ka’ab menjawab, “Itu hanya suara Muhammad bin Maslamah dan Abu Nailah, saudara sesusuanku. Sebagai seorang yang terhormat maka aku akan menemuinya walaupun di malam hari.” Sementara itu Muhammad bin Maslamah berkata (kepada temanya), “Apabila di keluar, maka aku akan mengulurkan tanganku ke kepalanya, apabila aku telah berhasil membekuknya, maka kamu maju untuk membunuhnya.” Maslamah berkata, “Ketika Ka’ab keluar dengan meletakkan senjatanya, mereka (temannya Maslamah) berkata, “Sepertinya kami mencium bau harum darimu.” Ka’ab menjawab, “Memang, sebab isteriku adalah wanita yang pandai berhias dan merawat diri.” Muhammad bin Maslamah berkata, “Kalau kamu berkenan, bolehkah aku mencium bau harum yang ada pada dirimu?” Ka’ab berkata, “Silahkan.” Kemudian Muhammad menciumnya dan berusaha menciumnya lagi, lalu dia berkata, “Kalau kamu berkenan, bolehkah aku mengulanginya lagi?” rupanya Ka’ab tidak merasa keberatan dan menyodorkan kepalanya kepada Muhammad bin Maslamah. Kemudian Muhammad bin Maslamah berkata kepada temannya, “Giliran kalian.” Dia berkata, “Kemudian mereka membunuh Ka’ab bin Al Ashraf.” (HR. Muslim no. 3359)
3. Islam sangat menekankan agar seseorang dalam kondisi apapun tetap harus selektif dalam menerima informasi, terlebih pada saat terjadi peperangan. Sebagaimana dijelaskan dalam teks alquran surat al Hujurat ayat 6:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat, Ayat 6)
Ayat tersebut diatas turun setelah fathu makkah terkait dengan peristiwa pasca peperangan dengan bani musthaliq. Setelah pembagian harta rampasan perang, Rasulullah mendapatkan tawanan peran berupa budak yang kemudian dinikahinya yaitu Juwairiyah binti al Harits, anak pimpinan bani musthaliq, yaitu al Harits bin. Sehingga dengan sikap nabi yang demikian menjadikan al Harits masuk Islam dan kemudian juga mengajak kaumnya untuk memeluk Islam dan membayar zakat. Hingga batas pembayaran zakat ternyata utusan Rasulullah untuk mengambil zakat tidak kunjung datang hingga al Harits berinisiatif untuk mendatangi Rasulullah di Madinah untuk menunaikannya dengan mengajak beberapa anggota kabilahnya. Namun ternyata dipersimpangan jalan bertemu dengan al Walid bin Uqbah utusan Rasulullah yang diberi tugas untuk memungut zakat. Tanpa konfirmasi Al Walid mempersepsi bahwa kedatangan al Harits dikira akan melakukan penyerangan dan penolakan pembayaran zakat atas dasar pengalaman perang sebelumnya dengan bani musthaliq sebelum masuk islam. Hingga disampaikanlah berita tersebut kepada Rasulullah. Namun Rasulullah berhati-hati dalam menerima informasi ini sehingga disaat al Harits telah bertemu dan Rasulullah mengkorfirmasi tentang kebenaran berita, barulah diketahui bahwa informasi tersebut tidak benar bahkan sebaliknya. Hingga turunlah ayat 6 dari surat al Hujurat ini untuk membenarkan pengakuan al Harits.
Melalui kisah ini sebuah pelajaran berharga bahwa dalam suasana perang, informasi akan sangat mungkin simpangsiur dan membingungkan, maka untuk itu sebelum mengambil sebuah keputusan maka perlu selektif dalam menerima informasi agar tidak menjadi musibah atau bencana bagi suatu kaum. Disinilah mekanisme tabayyun perlu dilakukan.
4. Tidak mudah menyebarkan informasi sebagai konsekwensi dari selektifitas atas informasi.
Rasulullah Saw bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
”Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR. Muslim).
5. Tetap menjaga etika dalam berkomunikasi sekalipun dalam kondisi perang, terlebih model perang asimetris yang tidak lagi mengenal waktu dan tempat yaitu terlebih berupa perang informasi (hybrid warfare).
لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا. إِن تُبۡدُواْ خَيۡرًا أَوۡ تُخۡفُوهُ أَوۡ تَعۡفُواْ عَن سُوٓءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوّٗا قَدِيرًا
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa. (QS. An-Nisa’, Ayat 148)
Etika komunikasi dalam perang menurut Islam sebagaimana etika komunikasi pada kondisi umumnya (sekalipun dalam kondisi perang terdapat pengeculian dan pengkhususan) sebagaimana dalam ayat tersebut diatas adalah : mengungkapkan perkataan buruk, sangatlah tidak dicintai Allah Swt, kecuali dia sedang teraniaya. Orang yang teraniaya diberi keringanan untuk mengungkapkan keburukan yang dilakukan oleh penganiayaannya. Segala yang baik apakah dilakukan secara terang-terang atau secara sembunyi akan tetap mendapat pahala dari Allah Swt. Membalas kedhaliman adalah diperbolehkan sepanjang dapat menghentikan kedhaliman atau membela hak, namun memberi maaf tentu lebih baik untuk meraih kemuliaan bukan tatkala memiliki kemampuan untuk melawan terhadap pihak yang telah menyatakan dirinya tunduk atas suatu kekuasaan.
Demikianlah Islam memberikan arahan tentang etika komunikasi perang (war communication) khususnya dalam menghadapi perang model baru di dunia modern ini yang disebut dengan peperangan hibrida yaitu perang asimetris atau perang informasi. Inilah islam yang agung, yang tetap mendahulukan adab dalam setiap kondisi, karena Islam adalah peradaban.